Padang, rakyatsumbar.id – Kisruh pengelolaan aset dan tanah wakaf Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) Sumbar tidak kunjung tuntas. Kisruh tersebut bahkan telah berujung ke ranah hukum.
Perkumpulan PGAI Sumbar melaporkan pihak Yayasan Doktor Haji Abdullah Ahmad PGAI ke Polresta Padang atas dugaan kasus penggelapan atas hak aset wakaf PGAI Sumbar.
Ketua Umum Perkumpulan PGAI Sumbar Denny Agusta meminta agar Polresta Padang profesional dalam menangani kasus yang dilaporkan tersebut. Pasalnya, dua tahun setelah pelaporan ke Polresta Padang sejak 2023, belum ada perkembangan yang berarti dari proses hukum yang berjalan.
Denny Agusta dalam penjelasannya terhadap kronologis kisruh tersebut menyebutkan, tanah aset wakaf PGAI Sumbar itu seluas 4, 2 hektar. Posisinya di Kelurahan Jati Sawahan Kota Padang. Dalam pengelolaan aset tanah PB PGAI ini, tanah ini sudah dinyatakan aset dan segala isinya menjadi wakaf.
“Dengan hak wakaf, artinya tanah dan aset milik umat bukan pribadi, sejak tahun 1963,” terang Denny didampingi Anggota Perkumpulan PB PGAI Sumbar lainnya, Rabu (28/5) di PGAI Sumbar.
Denny mengungkapkan, saat itu Undang-undang (UU) tentang Wakaf belum ada. Termasuk juga UU tentang Yayasan. Pada tahun1963 silam, aset atas tanah wakaf langsung dikelola oleh Pengurus Besar (PB) PGAI. “Wakaf dikelola sendiri. Dalam hukum Islam dibolehkan. Namun dengan kepentingan umat, bukan untuk kepentingan yang diwakafkan,” tegasnya.
Setelah UU tentang Wakaf dikeluarkan, maka dalam UU itu diatur, yang mengelola wakaf harus berbadan hukum. “Sebelum UU Wakaf dikeluarkan tanah wakaf dikelola PB PGAI. Setelah UU tersebut hadir, maka tanah wakaf harus ada atas nama siapa. Saat itu wakaf dikelola atas nama 5 orang,” terangnya.
Dengan adanya UU tentang Wakaf, yang mengelola wakaf (nazhir) harus berbadan hukum. Pada waktu itu PB PGAI membentuk Yayasan Doktor Haji Abdullah Ahmad PGAI. Namun dalam UU tentang Yayasan, ada hal yang kontroversi. Dalam UU tersebut yang berkuasa adalah pembina. Kalau tidak ada ketentuan lebih lanjut, bisa jadi milik pembina, sehingga bisa jadi harta turun-temurun.
Kalau yayasan berjalan sesuai aturan, hak wakaf tidak boleh jadi hak milik pribadi. Kalau ini dilakukan pihak yayasan menurut Denny tidak ada masalah. Yang terjadi saat ini, ada kecenderungan pihak yayasan karena pemiliknya pembina, maka pembinanya yang dipilih tidak sesuai kriteria.
“Yang boleh jadi pembina yang mampu memberikan kontribusi bagi yayasan. Tidak boleh mengambil manfaat dari tanah wakaf. Di sini timbul masalah. Ada indikasi menjadikan semacam hak milik. PB PGAI sebagai wakif atau yang mewakafkan, mengajukan masalah ini ke Badan Wakaf Indonesia (BWI). Karena yang berhak menentukan nazhir adalah BWI. Jika nazhir tidak mampu mengelola dengan baik, maka nazhir boleh diganti,” tegasnya.
Menurut Denny selama dikelola oleh Yayasan Doktor Haji Abdullah Ahmad PGAI, yang terjadi penelantaran terhadap tanah wakaf. PB PGAI memanggil pihak yayasan yang jadi nazhir saat itu. PB PGAI menilai yayasan tidak menjalankan sesuai aturan.
Maka pada 24 Januari 2023, BWI mencabut hak nazhir yang diberikan kepada yayasan. BWI mengambil alih pengelolaan. Pada dasarnya BWI tidak langsung mengelola, maka dilakukan proses seleksi memilih nazhir wakaf yang baru.
“BWI menggelar seleksi, maka pada waktu itu kami dari unsur Alumni PGAI dan tokoh masyarakat kami bentuk Perkumpulan PGAI. Kami urus badan hukumnya lalu ikut mendaftar seleksi jadi nazhir yang dilaksanakan BWI,” terangnya.
Perkumpulan PGAI memenuhi syarat setelah diseleksi langsung oleh BWI. Akhirnya BWI memutuskan Perkumpulan PGAI sebagai pengelola tanah aset berdasarkan surat keputusan (SK) tanggal 27 Juni 2023.
Setelah SK dipegang, Denny selaku Ketua Umum Perkumpulan PGAI melakukan pendekatan kepada nazhir yang lama. “Kemudian kami inventarisir aset yang ada. Kami mulai bekerja. Tanah wakaf dalam sertifikat pengelolanya nazhir yang lama yakni pihak yayasan. Kami sekarang ditunjuk nazhir yang sah. Kami urus ke BPN. Kemudian BPN menetapkan, nazhir yang tercatat hak wakaf adalah Perkumpulan PGAI, pada 10 Desember 2023. Artinya kami memiliki legalitas formal nazhir yang sah secara hukum,” tegasnya.
Namun, dalam perjalanan melakukan inventarisir, ada beberapa aset yang belum dapat dikuasai Perkumpulan PGAI sebagai nazhir yang sah, karena masih dipertahankan oleh nazhir lama, yakni yayasan. “Bahkan pihak yayasan masih memungut sewa dari aset yang ada, seperti sewa ruko dan rumah serta sekolah sebagi aset wakaf PGAI. Padahal mereka tahu tidak berwenang lagi. Tetapi mereka masih lakukan pemungutan sewa,” terangnya.
Atas tindakan yayasan tersebut, Denny menyatakan pihaknya melaporkan ke polisi, atas kasus dugaan penggelapan atas hak aset wakaf PGAI, untuk segera diproses secara hukum. “Kami laporkan ke polisi, karena kami sudah diberikan SK dan tugas oleh BWI sebagai pengelola atau nazhir. Kami harus bertanggung jawab mengelola aset secara profesional dan produktif,” tegasnya
Setelah melaporkan kasus dugaan penggelapan hak aset wakaf kepada kepolisian, Denny berharap pihak kepolisian bisa memproses sesuai dengan KUHP. “Jangan ada mempermainkan hukum sehingga banyak yang dirugikan, salah satunya gedung-gedung aset PGAI akan terlantar,” ungkapnya.
Saat ini ada enam sekolah yang terlantar. Bahkan kondisi ini berdampak menurunnya minat masuk sekolah ini. Hanya ratusan murid yang terdaftar di sekolah ini. Padahal gedung dan tanahnya cukup luas.
“Sekolah ini didirikan oleh para ulama di Sumbar demi kepentingan umat. Mereka sisihkan harta mereka untuk wakaf ini. Saya sangat prihatin dengan kondisi ini. Ini adalah tanggung jawab moril saya sebagai ketua umum dan pengurus lainnya. Kami tidak ada menggantungkan hidup di PGAI ini. Niat kami hanya ingin mengembangkan PGAI ke depannya,” harapnya. (fwi)