Kerja sama bisnis antara pelaku usaha lokal dan investor asing terus tumbuh seiring globalisasi dan kemudahan akses pasar internasional. Namun, di balik peluang besar tersebut, sering kali tersembunyi kesalahan mendasar: kurangnya pemahaman pelaku usaha terhadap prinsip kesetaraan dalam hukum perdata.
Kasus yang melibatkan Rudi, pengrajin asal Yogyakarta, dan Hans, investor dari Belanda, menunjukkan bagaimana hubungan bisnis yang tampak solid dapat berubah menjadi sengketa hanya karena kelalaian hukum.
Awalnya, kerja sama keduanya berjalan harmonis. Ada modal yang jelas, perjanjian tertulis, serta pembagian tanggung jawab yang tersusun rapi. Masalah muncul saat Rudi menggunakan sebagian modal usaha untuk kepentingan pribadi dan tidak menyajikan laporan keuangan yang transparan.
Ketidaksesuaian data produksi dengan pendapatan menimbulkan kecurigaan. Hans kemudian meminta audit independen demi kejelasan, namun Rudi menolak dan berusaha berlindung dengan alasan bahwa Hans adalah warga negara asing sehingga tidak dapat menuntut secara penuh.
Padahal, alasan tersebut tidak tepat dari perspektif hukum perdata Indonesia. Merujuk pada Pasal 1 KUHPerdata, hak perdata seseorang tidak bergantung pada status kewarganegaraannya.
Artinya, Hans memiliki kedudukan hukum yang sama seperti warga negara Indonesia dalam hal menuntut hak dan meminta pertanggungjawaban.
Penolakan audit hanya memperlihatkan kurangnya itikad baik dalam menjalankan usaha, bukan kelemahan hukum pada pihak investor asing.
Sengketa ini tidak hanya menggambarkan konflik bisnis biasa, tetapi menunjukkan rendahnya kesadaran sebagian pelaku usaha terhadap kedudukan hukum mitranya, terutama investor asing. Jika warga asing dianggap tidak memiliki hak hukum yang sama, sulit bagi Indonesia untuk membangun iklim investasi yang sehat.
Bagaimana bisa investor asing percaya pada penegakan hukum kita, jika pelaksanaan perjanjian saja masih dipandang berbeda hanya karena perbedaan paspor?
Pada akhirnya, pelajaran penting dari kasus Rudi dan Hans adalah bahwa bisnis bukan hanya soal keuntungan, tetapi juga komitmen dan integritas. Hukum perdata Indonesia sudah cukup menjamin kesetaraan setiap pihak dalam perjanjian. Yang dibutuhkan hanyalah kedisiplinan pelaku usaha untuk menjalankan perjanjian secara jujur dan bertanggung jawab.
Keadilan dalam bisnis tidak pernah melihat asal negara; yang membedakan hanyalah siapa yang mematuhi hukum, dan siapa yang mencoba menghindarinya.
Jika Indonesia ingin membangun dunia usaha yang sehat, maka kesadaran hukum dan penghormatan terhadap perjanjian harus menjadi nilai utama dalam setiap kerja sama bisnis lintas negara. (*)





