Oleh: Sarah Tusita Oppu Sunggu
NIM : 2510832030, Prodi Ilmu Politik, FISIP Unand 2025
Apakah kebebasan beragama di Indonesia hanya sebuah slogan kosong tanpa arti dan aksi nyata bagi seluruh warga negaranya? Di atas kertas, konstitusi kita menjamin setiap warga negara untuk memeluk dan menjalankan agama sesuai keyakinannya. Namun, kenyataan di lapangan sering kali jauh berbeda.
Apakah semua kelompok agama benar-benar bisa menjalankan ritual dan keyakinannya tanpa hambatan?
Banyak warga negara yang tidak bisa menjalankan agamanya secara leluasa, tanpa takut mendapat tekanan atau bahkan kekerasan. Seharusnya Negara yang dikenal dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang diartikan sebagai berbeda-beda tetapi tetap satu bisa menjadi pelindung dalam menjamin kebebasan beragama secara universal bagi seluruh warganya.
Kebebasan beragama adalah hak asasi manusia yang tidak bisa ditangguhkan bahkan dalam kondisi darurat. Kebebasan ini mencakup kemampuan untuk memeluk, mengganti, menjalankan, dan menyebarkan agama atau kepercayaan tanpa tekanan negara atau pihak lain, serta hak untuk tidak beragama. Kebebasan ini melekat pada martabat manusia dan harus dilindungi oleh negara melalui hukum dan sosial.
UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) menegaskan negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk dan menjalankan agamanya. Namun menurut data terbaru dari Setara Institute (2024) mencatat 260 peristiwa dan 402 tindakan pelanggaran kebebasan beragama. Angka ini menunjukkan betapa rentannya insiden pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di tanah air, yang diperparah oleh sikap pemerintah dan aparat yang cenderung mengabaikan bahkan permisif terhadap praktik intoleransi.
Fenomena ini dapat terlihat dari kasus di Indonesia, yakni kasus penolakan pembangunan Gereja Santa Clara di Bekasi pada 24 Maret 2017. Hal ini menjadi salah satu potret nyata bagaimana kebebasan beragama masih menghadapi tantangan serius di Indonesia. Ketika gereja tersebut mulai dibangun, sekelompok massa menolak dengan alasan Bekasi Utara dihuni oleh mayoritas umat Muslim, dan dituduh tidak mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang resmi. Padahal faktanya Gereja Santa Clara telah mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) resmi sejak 28 Juli 2015, namun tetap menghadapi tekanan sosial yang menghambat proses pembangunan.
Kasus ini memperlihatkan bahwa persoalan pendirian rumah ibadah bukan hanya soal legalitas administrasi, tetapi juga menyangkut penerimaan dalam sosial dan komitmen negara dalam menjamin konstitusi tentang kebebasan beragama.
Tidak hanya itu, kasus serupa juga kembali terlihat pada insiden pembubaran dan perusakan rumah doa Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) di Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat, 27 Juli 2025. Menurut laporan BBC News Indonesia, sekelompok massa menyerbu dan merusak fasilitas ibadah ini sambil bersorak “bubar” ke arah rumah doa tersebut. Insiden ini menyebabkan korban, termasuk dua anak berusia 9 dan 11 tahun yang menjadi korban pemukulan dan dilarikan ke rumah sakit. Fasilitas seperti kursi, kipas angin, dan meteran listrik ikut rusak akibat insiden ini. Insiden ini tentu menimbulkan trauma mendalam bagi para jemaat saat itu.
Mengapa hak yang sudah jelas tertulis didalam undang undang negara ini sulit untuk diwujudkan dalam praktik nyata ? Kebebasan beragama harusnya bukan sekadar janji manis yang tersurat di dalam konstitusi negara, melainkan kewajiban moral dan politik yang menuntut perjuangan nyata dari seluruh elemen bangsa.
Di tengah fakta pahit bahwa sepanjang 2024 hingga 2025 terjadi ratusan pelanggaran hak beragama, termasuk pembubaran paksa gereja dan penutupan rumah doa yang seharusnya dilindungi negara, kita harus bertanya: sampai kapan hak ini hanya menjadi sebuah slogan kosong?
Sudah waktunya bagi kita mahasiswa, akademisi, aktivis, dan juga masyarakat umum untuk berpikir kritis dan berani berbicara untuk menolak segala bentuk intoleransi dan diskriminasi. Diam berarti membiarkan hak dasar ini dirampas, dan membiarkan masa depan Indonesia yang pluralistik dan inklusif terus terancam. Perubahan nyata tak datang dari keheningan, melainkan dari keberanian kita bersama untuk menuntut dan memperjuangkan kebebasan beragama yang sungguh-sungguh, bukan sekadar janji di atas kertas.
Kasus-kasus pembubaran paksa dan penolakan terhadap pembangunan fasilitas agama di atas sejatinya merupakan seruan keras bagi pemerintah, masyarakat sipil, dan media untuk bersama-sama memastikan bahwa kebebasan beragama bukan hanya sekedar kata-kata yang tertera di konstitusi, tetapi terbentuk dalam kenyataan yang dirasakan oleh seluruh rakyat tanpa kecuali.
Penegakan hukum yang adil, perlindungan efektif terhadap korban, serta pendidikan yang meluas tentang kebebasan beragama merupakan langkah mutlak untuk memutus rantai intoleransi. Indonesia saat ini sedang diuji di hal kemanusiaan dan demokrasi yang paling dasar, apakah negara ini mampu menyediakan ruang aman bagi setiap warganya beribadah sesuai keyakinan? Indonesia takkan pernah benar-benar merdeka jika rakyatnya masih melakukan tindakan intoleransi dan diskriminasi. Saatnya negara berhenti sekadar berjanji dan mulai sungguh-sungguh melindungi warganya.(*)