Padang, Rakyat Sumbar–Penanganan sampah pascabencana menjadi perhatian serius dalam rapat kerja antara Komisi III DPRD Kota Padang dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Padang. Dalam pertemuan tersebut, DLH memaparkan besarnya volume sampah yang harus ditangani setelah bencana: total 3.327 ton, terdiri dari backlog sampah selama lima hari, sampah spesifik dari permukiman terdampak, hingga hamparan kayu gelondongan yang terbawa arus dari hulu sungai.
Kepala DLH Kota Padang, Fadelan Fitra Masta, menjelaskan bahwa pada lima hari masa darurat, layanan pengangkutan sampah (LPS) hanya mampu beroperasi sekitar 25 persen, karena banyak petugas LPS yang turut menjadi korban bencana.
“Selama lima hari bencana, layanan LPS hanya berjalan sekitar 25%. Kondisi ini menyebabkan backlog sampah mencapai 1.237 ton. Banyak petugas kami yang terdampak langsung sehingga operasional sangat terbatas,” ujarnya.
Dari total 3.327 ton sampah itu, komposisinya terdiri dari 1.237 ton backlog, 990 ton sampah permukiman terdampak, serta 1.100 ton kayu gelondongan yang tersangkut sepanjang 3,6 km garis pantai. Kayu gelondongan muncul sebagai komponen terbesar akibat kuatnya arus sungai yang menyeret material dari hulu.
Namun tidak seluruh material kayu tersebut akan dibawa ke TPA. Fadelan menegaskan bahwa sejak hari pertama, DLH telah melakukan pemilahan langsung di lapangan. Banyak kayu yang masih layak digunakan oleh masyarakat pesisir untuk kebutuhan harian atau bahan bakar industri kecil. Sebagian lainnya dipersiapkan untuk dikirim ke PT Semen Padang sebagai energi alternatif.
“Sebagian besar kayu masih bernilai guna. Kami ingin memastikan tidak semua sampah kayu menumpuk di TPA. Pemanfaatan ulang ini penting agar penanganan sampah tetap efisien dan ramah lingkungan,” jelasnya.
Ketua Komisi III DPRD Kota Padang, Helmi Moesim, menilai angka 3.327 ton menjadi bukti betapa besar tekanan bencana terhadap sistem pengelolaan sampah Kota Padang. Ia menegaskan bahwa pemerintah kota membutuhkan skema darurat yang lebih tangguh agar layanan vital seperti pengangkutan sampah tidak lumpuh ketika terjadi bencana besar.
“Kami sangat prihatin melihat tumpukan sampah sebesar ini. Artinya, sistem kita belum cukup siap menghadapi bencana. DLH dan seluruh OPD harus memperkuat manajemen darurat agar kondisi seperti ini tidak terulang,” tegas Helmi.
Meski demikian, Helmi mengapresiasi langkah DLH yang memanfaatkan ulang kayu untuk masyarakat dan industri. Namun, ia mengingatkan bahwa percepatan pembersihan tetap menjadi prioritas agar lonjakan sampah tidak memicu masalah kesehatan baru.
DLH memastikan bahwa dengan pemilahan intensif, pemanfaatan ulang material, serta dukungan masyarakat dan industri, target penyelesaian penanganan sampah pascabencana dalam sembilan hari diyakini dapat tercapai. (Edg)





