Jejak Perilaku dan Pola Pemberdayaan Kader yang Berjalin Kelindan
Oleh: Wahyuni Mulia Helmi MH
Tulisan pendek ini merupakan pembelajaran dari pelaksanaan bagaimana membangun sistem pemberdayaan masyarakat di “akar rumput”, dan merupakan bagian kecil dari pengalaman-pengalaman pelaksanaan kegiatan pemberdayaan bidang PSD di masyarakat. Jejak Perilaku dan Pola Pemberdayaan Kader yang Berjalin Kelindan ini memberikan gambaran perubahan tingkah laku dari kader dalam mengapresiasi kegiatan pemberdayaan di masyarakat, khususnya bidang PSD.
Bidang Pelayanan Sosial Dasar (PSD) merupakan salah satu bidang pendampingan pada Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD). Hadirnya PSD sebagai sebuah bidang pendampingan merupakan simbol kebutuhan sekaligus representatif dari permasalahan yang sesungguhnya ada dalam pemenuhan kebutuhan sosial dasar masyarakat, yang dicita-citakan dapat terentaskan melalui pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang partisipatif. Adapun konsep partisipatif tersebut dimanifestasikan melalui keikutsertaan seluruh unsur dan lapisan yang ada di masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan, khususnya bidang PSD.
Pendampingan bidang PSD setidaknya meliputi persoalan kesehatan, pendidikan, sosial, budaya, literasi, kebencanaan, sistim informasi, perempuan dan anak, serta kelompok disabilitas dan termarjinalkan. Memahami akan luasnya cakupan layanan sosial dasar tersebut, dengan keterbatasan energi PD dan PLD, maka pola kerja pendampingan yang dinilai paling efektif adalah dengan menggunakan metode pemberdayaan kader. Pemberdayaan kader merupakan suatu metode sederhana yang dilakukan untuk menjadikan masyarakat terpilih menjadi berdayaguna bagi dirinya serta dapat memberikan pengaruh yang signifikan pada lingkungan sekitarnya.
Individu masyarakat yang menjadi kader khususnya bidang PSD, pada hakikatnya harus menjadi motor penggerak dalam meningkatkan pengetahuan, swadaya, gotong royong. Secara umum kader masyarakat harus mampu memastikan terlaksananya tahapan kegiatan program pembangunan di desa mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban dan pelestarian nilai-nilai. mendorong dan memastikan penerapan prinsip-prinsip partisipatif, transparansi dan akuntabilitas setiap tahapan program pembangunan di desa mulai dari perencanaan, pelaksanaan pertanggungjawaban dan pelestarian nilai-nilai. Membantu dan memfasilitasi proses penyelesaian masalah perselisihan di desa. Mengefektifkan penggunaan papan informasi di desa. Mendorong masyarakat untuk berperan serta dalam pelaksanaan kegiatan, termasuk dalam pengawasan.
Kondisi terkini, setidaknya terdapat beberapa kader yang berhubungan langsung dengan pelayanan sosial dasar, pertama; Kader PAUD yang lebih dikenal sebagai guru PAUD, menjadi simbol jawaban terhadap permasalahan yang berhubungan dengan pendidikan anak usia dini. Kedua; Kader posyandu, merupakan mengejawantahan dari usaha penyelesaian permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan layanan kesehatan pada ibu hamil, anak balita dan manula.
Ketiga; Kader Pembangunan Manusia, merupakan kader yang bertugas sebagai pemantau sejauh mana layanan konvergensi stunting diterima oleh masarakat yang menjadi sasaran. Kader ini setidaknya muncul dari fenomena permasalahan gizi yang dikenal dengan “stunting”. Angka stunting dinilai tinggi, meskipun layanan kesehatan selalu diberikan. Berangkat dari permasalahan tersebut diperlukan pemantauan kondisi sebenarnya.
Kader berada di ujung tombak dalam kegiatan kemasyarakatan, namun demikian kesiapan kader dalam menjalankan peran dan fungsinya mayoritas belum memadai. Hal ini terlihat dari perilaku kader dalam kegiatan berdesa. Beberapa perilaku kader yang teramati dalam kegiatan di desa antara lain, pertama; Kader tidak memiliki kepercayaan diri dalam mengayomi masyarakat pada bidang dampingannya, misalnya kader posyandu dan kader KPM. Tidak adanya kepercayaan diri ini menyiratkan permasalahan yang tidak terungkap di permukaan, seperti pengetahuan kader yang minim terhadap bidang yang diempunya, dalam hal ini kader tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang kesehatan ibu dan anak, makanan bergizi, pola hidup bersih, stunting, konvergensi, sanitasi, limbah, dan lain sebagainya. Penyebab lainnya adalah rendahnya pengetahuan kader tentang dana desa, tata cara yang dapat dilakukan untuk mengakses dana desa, prioritas penggunaan dana desa, serta tahapan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di desa.
Kedua; Kader tidak focus dalam mengemukakan permasalahan dalam forum-forum desa sehingga tujuan pembicaraan tidak tercapai. Hal ini disebabkan karena kader tidak memiliki kemampuan dalam menggali, memetakan, dan menganalisis masalah. Penyebab lain adalah karena kemampuan public speaking yang tidak mencukupi untuk dapat tampil di dalam forum-forum desa. Ketiga; Kader merasa cukup dengan kondisi yang ada, tidak berusaha berbuat lebih, hal ini bisa jadi disebabkan karena kader tidak memiliki kemampuan dalam membangun jejaring. Jejaring yang dimaksud adalah jejaring sesame kader di desa di bidang yang lain, maupun jejaring dengan kader di bidang yang sama di luar desa.
Secara umum, perilaku kader yang tampak tersebut sesungguhnya memendam permasalahan yang terkadang tidak tampak di permukaan, namun memberikan dampak yang tidak maksimal dalam perencanaan dan pembangunan di desa. Agar peran dan fungsi kader dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan usaha untuk mengubah perilaku kader tersebut. Usaha yang dilakukan antara lain adalah dengan metode transformasi. Metode transformasi ini menghendaki analisis masalah terlebih dahulu, sehingga dapat dipetakan kebutuhan-kebutuhan dalam penyelesaian masalah dalam perubahan perilaku tersebut.
Selanjutnya setelah pemetaan kebutuhan dilaksanakan, kegiatan transformasi dirancang dengan menggunakan beberapa pola. Untuk masing-masing pola perlu disiapkan bahan dan materi yang berbeda, sesuai dengan kebutuhan dan materi yang akan ditransformasikan, serta disesuaikan dengan personil yang terlibat dalam kegiatan.
Adapun pola transformasi tersebut dapat dirancang secara sederhana seperti yang terlihat pada gambar berikut:
Pola transformasi pada kader:
1. Perubahan perilaku dengan pola perlakuan TA – kader
2. Perubahan perilaku dengan pola perlakuan TA – PD – kader
3. Perubahan perilaku dengan pola perlakuan TA – PD — PLD – kader
4. Perubahan perilaku dengan pola perlakuan OPD – kader
5. Perubahan perilaku dengan pola perlakuan OPD – TA — kader
Pelaksanaan kegiatan untuk perubahan perilaku kader dengan beberapa pola tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang dan berkesinambungan. Di beberapa tempat, telah terlihat perubahan perilaku dari kader yang ada di desa, serta juga terlihat bagaimana pengaruhnya terhadap jalannya kegiatan pembangunan di desa.
Dengan adanya pola transformasi, kader memiliki pengetahuan yang lebih mendalam tentang bidang yang ditekuninya. Melalui komunikasi yang baik, kader dapat meningkatkan kualitas dirinya. Sehingga kader mulai memiliki kepercayaan diri dalam mengedukasi masyarakat, dan dalam hal berkoordinasi dengan pemerintahan desa pada kegiatan perencanaan dan pembangunan.
Pola transformasi tersebut, kader juga memiliki kemampuan dalam menggali, memetakan, dan menganalisis masalah, sehingga pembicaraan dalam forum menjadi terarah dan jelas. Di samping itu teramati, kader juga memiliki peningkatan dalam hal kemampuan public speaking, karena sering dikondisikan untuk berbicara di dalam forum. Adapun kegiatan transformasi ini berorientasi pada proses sehingga masih berlangsung di berbagai desa dan akan tetap dilaksanakan secara berkesinambungan. (*)
*Penulis adalah Tenaga Ahli (TA) Kemendes di Kabupaten Agam