Inmemoriam H. Amran Sutan Sidi Sulaiman (1), “Satiok Dikakoknyo Kameh”
Berpulangnya H Amran Sutan Sidi Sulaiman ke Rahmatullah, meninggalkan duka mendalam bagi masyarakat Sumbar. Putra Padangpanjang ini merupakan potret nyata kegigihan seorang laki-laki Minangkabau dalam membangun bisnis, mengelola dunia pendidikan dan ibadah.
Penulis pernah dekat dengan orang tua dari dr Rika Amran (Wadir RS Siti Rahmah), dan Fadly Amran (Walikota Padangpanjang) ini, terutama ketika penulis bersama Khairul Jasmi dipercaya menulis perjalanan 25 Tahun Universitas Baiturrahmah. Perjalanan universitas yang terkenal di bidang kesehatan tersebut, tak bisa dilepaskan dari kakok tangan beliau.
Pada kesempatan ini, penulis menurunkan sebagian kecil perjalanan H. Amran Sutan Sidi Sulaiman yang dikutip dari buku berjudul H. Amran Sutan Sidi Sulaiman, Universitas Baiturrahmah, Berkhidmat untuk Kemajuan Bangsa tersebut. Diterbitkan Yayasan Pendidikan Baiturrahmah.
H. Amran lahir di Padangpanjang, 20 September 1929. Kepastian tanggal kelahirannya pun, sebenarnya didasarkan pada penghitungan terhadap sebuah peristiwa. Jamak pada masa lalu, orang hanya memperkirakan tanggal kelahiran. Begitu pun tanggal kelahiran H. Amran. Patokan hari kelahiran H. Amran, konon empat tahun setelah Hari Kalam (Hari Gelap) pada masa itu. Hari gelap dimaksud, pernah terjadi di suatu masa, Padangpanjang dan sekitarnya dilanda gempa dahsyat akibat meletusnya Gunung Merapi. Kejadiannya di tahun 1926, dan H. Amran lahir tiga tahun kemudian.
Di masa kanak-kanak, anak ketiga dari lima bersaudara, dari pasangan Haji Nurdin Datuk Palembang, seorang pedagang dan juga bertani dengan Siti Djalilah, tak kuat bekerja di sawah, namun tahan jalan keliling kampung, masuk kampung keluar kampung menjajakan kue, sepanjang hari. Jika tidak keliling berjualan kue, ia dapat tugas menunggui lapau (kedai).
Setelah berumur 6 tahun, anak lelaki Minangkabau menjalani kehidupan di surau. Tidak boleh lagi tidur di rumah orang tua. Amran mengaji di Surau Guguak. Surau adalah tempat untuk menempa diri lelaki Minangkabau dengan mengaji, basilek dan pendidikan akhlak serta kepribadian muslim sejati. Pendidikan yang didapatkan di surau berbeda dengan pendidikan formal di sekolah.
Selesai salat subuh, para lelaki muda itu pulang ke rumah orang tuanya. Membantu pekerjaan orang tua, sekolah dan kembali lagi ke surau sebelum magrib. Begitulah setiap hari.
Ketika tentara Jepang masuk ke kampungnya, kehidupan menjadi berubah. Bahan makanan dan kebutuhan harian sulit didapatkan. Semua orang mengalami kesulitan luar biasa. Tak hanya itu saja, sekolah Amran pun terputus ketika ia seharusnya sudah duduk di kelas VI Sekolah Rakyat. Padahal sebenarnya Amran ingin terus sekolah, namun tak ada aktivitas lagi di sekolah. Ia akhirnya mengikuti ayahnya berdagang. Ia bawa saka (gula merah) dari Kotobaru, lalu dibawanya dengan gerobak ke Sicincin, Pakandangan dan Pariaman. Ketika itu, mereka tidak bisa balik hari itu juga. Perjalanan tersebut menempuh waktu dua hingga tiga hari.
Tahun 1946, ayahnya sudah bisa menyewa kedai di Padangpanjang, kota kecil, berhawa sejuk. Sewa kedai dibayar setiap bulan. Kehidupan di Padangpanjang membawa kenangan tersendiri yang tak akan pernah bisa dilupakan.
Padangpanjang, sejak dulu terkenal dengan kota yang memiliki banyak sekolah Islam. Ada Perguruan Sumatera Thawalib, didirikan Inyiak DR, ayah Buya Hamka. Ada Diniyah Putri, didirikan Rahmah El-Yunusiah bersaudara. Di sini banyak tokoh-tokoh pergerakan.
Tahun 1949, Amran memberanikan diri buka usaha sendiri. Modal awal, berupa sepeda pinjaman merek Hunger, dijualnya. Hasil penjualan dijadikan modal dan sewa kedai di Pasar Padangpanjang. Usahanya terus berkembang. Pergaulannya pun luas. Dua tahun berselang, ia melunasi utang usahanya. Sejak itu pula ia menanamkan prinsip, tak akan berhutang lagi.
Tahun 1952, disaat usahanya terus tumbuh dan berkembang, ia menikah dengan anak kawan ayahnya. Ketika itu, gadis tersebut berusia 19 tahun. Pernikahannya dikarunia empat orang anak; Ermida, Okmawida, Ali Herman dan Ahmad Suwarta.
Lima tahun berselang, ia menikah lagi. Ia menikahi Djusma dan dikarunia seorang anak, Retno Yelvi. Di tahun itu pula ia membeli sepeda kumbang Zandap. Tak banyak orang yang bisa memilikinya ketika itu.
Situasi berubah sangat cepat. Disaat menikmati masa-masa menyenangkan, tiba-tiba masalah melanda negerinya. Tokoh-tokoh di daerah menginginkan perbaikan, namun pemerintah pusat menilai keinginan tersebut sebagai pemberontakan. Terjadi konflik. Perang saudara terjadi. Peristiwa tersebut populer dengan istilah PRRI.
Penangkapan, penculikan, pembunuhan dan kesewenang-wenangan terjadi. Pembakaran di mana-mana. Usaha yang dibangunnya, tak bisa dilanjutkan. Amran pun berpikir keras, apa pekerjaan yang harus dilakukan lagi? Mulanya sempat akan menjadi tukang pangkas rambut. Tak jadi. Lalu, tukang reparasi jam. Tak cukup. Ia berpikir untuk meninggalkan Padangpanjang. Ia harus merantau. Kedua isterinya mengizinkan. Ia kemudian merantau ke Padang. Kota yang tak pernah diketahui sebelumnya.
Amran memboyong kedua isteri dan anak-anaknya ke Padang. Ia kemudian berjualan kain di kaki lima Pasar Mambo (sekarang, Koppas Plaza). Selain berjualan kain, ia kemudian juga kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Andalas.
Ia bisa kuliah karena disaat sebelum menikah, sempat melanjutkan sekolahnya. Disaat menjual barang-barang P&D, selepas berjualan sendiri dari modal pinjam sepeda, ia melanjutkan sekolahnya sehingga memperoleh ijazah SMP dan SMA. Ia tak puas dengan ilmu ekonomi saja. Ia juga kuliah di Fakultas Hukum Unand. Aktivitas tersebut dijalaninya dengan penuh keyakinan. Di saat masa sulitnya, ia menyelesaikan kuliah C1 ekonomi Unand.
Usaha kain berlangsung hingga 1962, lalu beralih menjadi agen semen. Ia beli semen dari “orang dalam” kemudian dijual ke pasar dengan harga dua kali lipat. Tapi usaha itu berhenti tahun 1965 karena sistem jatah semen untuk “orang dalam” ditiadakan.
Ada kebanggaan tersendiri bagi Amran ketika itu. Ia menyewa gudang di Kampung Cina untuk semen-semennya. Ketika itu, menyewa gudang di Kampung Cina merupakan ukuran sukses seorang pedagang pribumi.
Di Tahun 1965, setelah semen, ia beralih jadi agen garam. Modalnya 12 ton garam, atau Rp 12 juta di masa itu. Usaha garamnya bergerak naik. Dalam kurun waktu singkat, kemajuan usahanya sangat pesat. Ia juga pernah mengimpor garam dari India, sebanyak 5.000 ton.
Tahun 1971, usaha garamnya terus berkembang. Ia kemudian membuka showroom mobil. Jual beli mobil sangat lancar. Ketika itu, ia beli mobil Rp 950.000–, dijual Rp 1.000.000,–. Labanya sangat besar untuk ukuran masa itu.
H Amran kemudian melihat celah. Ketika itu, kendaraan untuk angkutan dalam kota di Padang, ketika itu hanya ada bendi, bemo dan datsun. H. Amran mendapatkan rute sendiri, sehingga akhirnya berlalu-lalanglah City Ekspres, atau Mini City Ekspres (MCE). Kendaraan berwarna kuning berpintu belakang itu dikelolanya sendiri. Semakin terkenallah H. Amran di kancah dunia usaha Sumatera Barat.
Saking terkenalnya, ternyata belakangan ada yang mengganjalnya. Setiap ada tamu pejabat, H.Amran dihubungi, lalu dimintai bantuan untuk mendampingi atau membantu biaya selama tamu tersebut selama di Padang. Makan dan minumnya. Hotelnya. Ada juga yang meminta bantu carikan “selimut hidup” atau membiayai “selimut” tersebut.
Batin H. Amran menolak. Ia tinggalkan usaha tersebut. Dicoba usaha baru. Ia dirikan toko bertingkat (sekarang populer dengan sebutan Rumah Toko,–Ruko) di depan kawasan Terminal Lintas Andalas, bekas kuburan Belanda yang kini berdiri sebuah mall di Jalan Pemuda – Padang.
Konon, toko bertingkat yang dibuatnya tersebut merupakan toko bertingkat pertama di Padang. Walikota Padang Akhiroel Yahya sempat mempertanyakan keberadaan bangunan tersebut.
Setelah di depan terminal tersebut, juga mendirikan banyak toko bertingkat di kawasan Jalan M. Yamin. Persisnya di mulai perempatan Jl Hang Tuah – Jl M.Yamin – Jl. Pemuda dan Jl Hayam Wuruk sekarang. Toko bertingkat tersebut berjejer hingga depan terminal angkot, atau terminal Goan Hoad (sekarang Sentral Pasar Raya,–SPR). Dari banyak toko bertingkat yang dibuat, H. Amran menempati tokonya di perempatan jalan tersebut (sekarang di Padang Photo). Dari sana ia mengelola usaha garam, gula, jadi agen semen serta penjahit; Perdana Taylor. Dikerjakannya dengan senang hati.
Di tahun 1970-an itu pula, selepas magrib H. Amran melihat orang ramai disebuah toko di Jl M.Yamin. Toko tersebut sangat terang. Ia perhatikan. Disana orang menjual televisi (TV). Ketika itu, TV termasuk barang langka dan mewah. Konon, hanya itu satu-satunya tempat orang menjual TV.
Besoknya, H. Amran langsung ke Medan. Ia beli TV di Jl Asia – Medan. Dibawanya TV satu truk. Entah TV baik, entah rusak, ia pun tak tahu bagaimana TV sesungguhnya. Sesampai di Padang, TV disusun dan dipajang di kedainya. Ia tak bisa menghidupkan.
Beberapa hari berselang, ada seorang anak muda melihat-lihat TV. Ia bertanya ukuran TV yang ada di depannya, “ini berapa inchi, Pak Haji?” tanya anak muda itu, ketika itu.
H. Amran tertegun. Ia juga tidak tahu, tapi nalurinya berkata lain. Anak muda ini bertanya dengan istilah yang dia sendiri tak tahu. Ia yakin, istilah yang disebut lelaki tersebut pasti terkait dengan istilah di TV.
“Anda mengerti dengan TV? Tahu cara menghidupkannya?” tanya H. Amran.
Ia menjawab datar. Tahu sedikit-sedikit dengan TV. Tanpa pikir panjang, H. Amran mengajaknya bekerja bersamanya. Ajakan itu pun diterima lelaki tersebut.
Saat usianya 41 tahun, ia naik haji. Tahun 1973, H. Amran menikah lagi. Ia menikahi Zairat, sekretarisnya di perusahaan garam yang dikelolanya. Pernikahan dengan Zairat dikarunia dua orang anak; Rika Amran, Sari Amran.
Pada tahun 1975, ia dipanggil untuk menghadap Gubernur Sumbar Harun Zein. Persoalannya, kapal garam milik H. Amran ditahan di tengah laut. Ketika itu, kepada H. Amran dikabarkan, pengelolaan dan pendistribusian garam diambil alih oleh pemerintah. Ia kemudian disidang oleh pejabat daerah ketika itu, Mahyuddin Algamar.
“Kapal membawa garam ini akan ditenggelamkan,” kata Mahyuddin Algamar, ketika itu, seperti ditirukan oleh H. Amran.
Pernyataan itu justru disikapi santai oleh H. Amran, “silakan saja!” katanya.
“Tidak masalah bagi Anda?” tanyanya.
“Jika ditenggelamkan, ia masuk kategori force major. Saya akan terima asuransinya,” kata H. Amran tak kehilangan akal. Mahyuddin Algamar bingung.
Sepulang dari kantor gubernur, H. Amran menyampaikan ke isterinya. Garam yang dikelolanya ditenggelamkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I (Kini disebut, Pemerintah Provinsi –Pemprov) Sumatera Barat. Sejak itu pula, usaha garam diambil-alih oleh pemerintah.
Tahun 1979. Ia mendirikan Taman Kanak-kanak (TK) Baiturrahmah. Maknanya, tempat atau rumah yang selalu dihiasi oleh kasih sayang. Setelah itu, berturut-turut didirikannnya SD, SMP dan SMA Baiturrahmah. Berlanjut mendirikan Sekolah Tinggi Kedokteran Gigi, Akademi keperawatan hingga berkembang jadi Universitas Baiturrahmah.
Ternyata, sado nan dikakoknyo, kameh. Semua yang dikerjakan H Amran berhasil secara baik. Apa rahasianya? Bagaimana pula kisahnya mendirikan sekolah dan kampus dengan karakter pendidikan Islam? . (Firdaus Abie)