In Memoriam Sahabatku Rhian D’ Kincai
Almarhum Rhian D’ Kincai.
Profesi utamanya wartawan.
Dan, Ia termasuk wartawan yang amat berjasa dalam mengangkat popularitas musisi era 1990-an.
Akan tetapi, sebagai seniman, Dialah tokoh dibalik kehadiran Gamawan Fauzi sebagai penyanyi rekaman dalam album Lambah Gumanti, mengusung 10 lagu ciptaannya.
Karya- karyanya banyak diminati artis dan produser rekaman. Dan, lagunya pun sudah direkam, bukan
hanya oleh artis Minang, akan tetapi juga artis Jakarta
Kedua orang tuanya berasal dari Kabupaten Agam, ayah dari Pakan Sinayan, Banuhampu dan ibu dari Lubuk Basung, yang merantau ke Kerinci sejak tahun 1949.
Ketika lahir pada tanggal 5 Mai 1953, di Sungai Penuh, Ia diberi nama Syafnir Mardian, yang biasa disapa Yan oleh ayahnya Munir St. Batuah, sementara ibunya, Ramali, memanggilnya Syaf.
Selanjutnya, Rhian memakai nama Syafnir Mali, ketika kakaknya menggunakan tambahan Mali dibelakang namanya.
Mali adalah singkatan dari nama kedua orangtuanya, Munir dan Ramali.
Akan tetapi, pada tahun 1972, ia mempopulerkan dirinya dengan nama Rhian D’Kincai.
Katanya, di samping lebih keren, nama barunya ini adalah singkatan dari Risau Hati Anak Dagang Kerinci.
Dia tidak berasal dari keluarga seniman musik.
Bahkan ambisi awalnya adalah menjadi seorang deklamator andal, karena sejak muda Rhian penyuka puisi.
Berbagai lomba baca puisi selalu diikutinya, seringkali mendapat juara II.
Namun pada tahun 1972, puisinya berjudul Sajak Putih karya Chairil Anwar, yang dibacakannya dengan berdendang, membuatnya terpilih sebagai Juara I dalam lomba baca puisi tersebut.
Peristiwa tak diduga itu terjadi di Jakarta Timur. Sejak itu, Rhian mulai sadar bahwa Ia bisa mencipta lagu.
Rhian D’ Kincai Lasak
Tidak sampai menyelesaikan sekolahnya di STM Kerinci, ia meneruskan SMA-nya di Jakarta.
Tamat SMA, ia sempat kuliah 4 semester di Fakultas sastra Universitas Indonesia.
Kemudian ia nongol pula di Fakultas Ekonomi, jurusan Ekonomi Pertanian di sebuah perguruan tinggi di Bogor, Universitas Ibnu Khaldun.
Cuma 2 semester lagi. Hengkang dari Bogor, ia tercatat pula sebagai mahasiswa Akademi Publisistik Jakarta selama 3 semester.
Yang cukup lama, ketika ia kuliah di STKIP Lubuk Alung, yaitu selama 7 semester.
Inilah lasaknya seorang Rhian, senang gonta-ganti kampus. Memang, di STKIP Lubuk Alung itu, Rhian menyelesaikan kuliah tahun 1992.
Ia memperoleh ijazah S-1 Bahasa Indonesia dengan predikat cum laude, mengusung skripsi Pengaruh Mantra dalam Perkembangan Puisi.
Tahun 1973, Ia bekerja sebagai reporter kota di Harian Indonesia Raya, Jakarta.
Ketika harian ini tutup pada tahun 1974 karena dibredel oleh Pemerintah, Rhian pindah ke harian Pelita, Jakarta.
Tak lama di harian Pelita, Ia mengundurkan diri, selanjutnya bergabung dengan Mingguan Berita Minggu Film, milik Zulharmans.
Tahun 1983, bergabung lagi dengan Harian Pelita, dan ditugaskan menjadi koresponden di Padang sampai tahun 1989.
Selain itu, sejak tahun 1987 dia juga bergabung dengan Harian Semangat. Setelah Harian Semangat berhenti beroperasi, Rhian malang melintang dari satu Tabloid ke Tabloid lainnya di Sumatera Barat, sampai Ia memiliki Tabloid sendiri, Tabloid Berita Editor dan portalberitaeditor.com sejak tahun 2013.
Di dunia kewartawanan ini, meskipun Rhian tetap saja gonta-ganti tempat kerja, akan tetapi tak bisa disebut sebagai lasaknya Rhian D’Kincai.
Boleh jadi “nasibnya yang lasak” atau barangkali romantika hidupnya yang berliku menuju cita-cita dan ambisinya untuk menjadi seorang manajer sebuah media massa.
Jasa Rhian Bagi industri Musik Minang Era 1990-an
Selama di Harian Semangat inilah industri musik Minang berhutang budi kepada Rhian D’Kincai.
Rhian adalah wartawan paling berjasa dalam mengangkat popularitas Zalmon, Agus Taher, Ferry Zein, Anroys, Dessy Santhia, Rosnida Ys, dan Nedi Gampo yang dampaknya sangat luar biasa dan berantai.
Berita, resensi musik dan opini yang dibangun oleh Rhian D’Kincai, termasuk wartawan Haluan, Syarifuddin Arifin dan Yusril Sirompak dari harian Singgalang betul-betul mampu membuat “demam lagu-lagu Minang” bukan hanya terjadi di Sumatera Barat pada era 1990-an.
Fenomenalnya, era 1990-an ini ditandai oleh “manisnya” hubungan emosional antara kelompok seniman dan produser dengan kalangan wartawan.
Ke-akraban ini dapat dicatat ketika ketiga wartawan itu juga merilis karya-karyanya.
Meskipun karya Rhian D’Kincai, sudah direkam oleh Bimbo tahun 1973, May Sumarna tahun 1974, dan Hetty Koes Endang tahun 1978, akan tetapi nama Rhian muncul sebagai pencipta beken lagu-lagu Minang pada tahun 1990-an, ketika lagu-lagu hebatnya direkam Pitunang Record.
Karya-karyanya, seperti Ranah Pasisia, dipopulerkan Zalmon, Pasan Alang Babega dinyanyikan Anroys, dan Laruik ditembangkan Dessy Santhia begitu melambungkan nama Rhian sebagai komposer handal.
Syarifudin Arifin juga melempar 2 lagunya Aiemato Darah dinyanyikan Dessy Santhia, dan sebuah lagu yang disukai banyak orang berjudul Talambek Mambaco Bayang dinyanyikan Anroys.
Sementara sebuah lagu Yusril Sirompak, berjudul Tabanglah Pipik dipopulerkan oleh Dessy Santhia, juga dirilis dalam waktu yang bersamaan dengan Syarifuddin Arifin dan Rhian D’Kincai dibawah bendera Pitunang Record.
Membujuk Gamawan Fauzi
Efek berantai seorang Rhian D’Kincai ini juga terjadi ketika si pemilik rambut gondrong bewarna blonde ini membujuk Gamawan Fauzi menjadi penyanyi rekaman pada tahun 1996.
“Kepala daerah yang sukses sebagai kepala pemerintahan banyak. Akan tetapi, baru Basofi Sudirman yang dikenal orang sebagai elit pemerintahan yang seniman.
Duit hasil rekaman bisa dijadikan dana pembangunan. Di Solok ini, Bupati seniman bisa pula dikaitkan dengan pengembangan agrowisata.
Begitu bujukan Rhian meyakinkan salah seorang putra terbaik Sumbar ini, Gamawan Fauzi, untuk masuk dapur rekaman.
Singkat cerita, ketika mantan Mendagri, yang kerap disapa pak An ini disodorkan 10 lagu-lagu karya Rhian D’Kincai, yang kebetulan sedang getol-getolnya mengembangkan komoditi markisa manis sebagai komoditi icon kabupaten Solok, maka sebuah “efek berantai” baru pun hadir.
Kebetulan beberapa lagu yang disodorkan Rhian itu bicara tentang markisa dan Solok, seperti lagu yang berjudul Gayo Markisa, Bungo Lambah Gumanti, Batang Lembang, Muaro Labuah, Sulik Aie, Rang Ampek Suku, Solok Nan Indah, dan Salingka Singkarak.
Album Bungo Lambah Gumanti-nya Gamawan Fauzi ini, yang musiknya dikerjakan Ferry Zein, yang ketika itu sedang top-topnya di Sumbar sebagai aranjer kondang, mendapatkan sambutan hangat di Sumbar.
Launching di kantor Bupati Solok dihadiri oleh berbagai kalangan. Di samping lagu-lagunya bagus, dan suara Gamawan terbilang apik.
Aalagi sang Bupati didaulat juga lelang lagu, maka tokoh otomotif Sumbar, Rani Ismail, juga betul-betul jagoan sebagai pembawa acara dan merogoh saku pengunjung yang hadir di acara launching tersebut.
Di malam itu saja terkumpul dana sebanyak Rp350 juta. Dana ini yang dijadikan Gamawan sebagai dana abadi dalam Yayasan Pengembangan Pendidikan di Kabupaten Solok.
Dalam perkembangannya, melalui berbagai launching album tersebut di beberapa daerah.
Selanjutnya merilis album kedua berjudul Jantuang Hati Denai karya B. Andoeska, dan album ketiga bertajuk Sibunian Bukik Sambuang, karya Agus Taher, maka dana abadi ini berkembang menjadi Rp4 milyar rupiah.
Sukses sebagai sebagai Kepala Daerah yang mampu menghimpun dana pendidikan cukup besar melalui lagu, akhirnya menghantar Gamawan Fauzi nongol di Harian Kompas.
Succes story Bupati Plus ini, dimuat di halaman belakang koran top ini, yakni halaman bergengsi, yang biasanya hanya memuat tokoh-tokoh pilihan nasional. Ini mata rantai pertama.
Secara tak langsung, album yang memuat lagu Gayo Markisa ini, juga makin mendorong “demam markisa” di Kabupaten Solok.
Dalam waktu singkat, komoditi andalan Solok ini berkembang sampai ribuan hektar.
Kedai-kedai buah muncul menjamur disepanjang jalan di daerah Solok. Dulu, buah tangan yang populer dari Solok, adalah terung pirus.
Sejak album Gamawan dirilis, posisi “oleh-oleh” dari kabupaten Solok digantikan oleh markisa manis. Ini mata rantai kedua.
Gelegar sukses pejabat-seniman ini, apalagi pejabat artis itu adalah seseorang sepopuler Gamawan Fauzi, memberi rasa bangga yang luar biasa di kalangan seniman.
Gamawan Fauzi memberi aura baru di kalangan seniman, bahwa: ” berbatu juga lurah dan tepian kita, ber-“saga” juga ijuk kita”.
Batu dan saga itu adalah Gamawan Fauzi, yang dibelakang hari memecahkan rekor sebagai Mendagri pertama yang berasal dari sipil.
Dan, kehadiran Gamawan sebagai penyanyi rekaman itu berkat Rhian D’Kincai. Ini mata rantai ketiga. Dan, popularitas Rhian D’Kincai sebagai seorang komponis juga makin menjulang sejak album Bungo Lambah Gumanti dirilis di pasaran.
Dan, barangkali fenomena ini pun dapat disebut sebagai mata rantai ke-empat.
Pertarungan Rhian D’Kincai dan Agus Taher
“Yan, kata orang mencipta lagu dari motif dendang Pauah itu sangat sulit. Bagaimana, bertarung kita?
Tantangan Agus Taher itu terucap ketika kedua sobat ini sedang menghirup kopi Kerinci di suatu senja temaram, di penghujung tahun 1995.
Kebetulan istri Agus Taher dan Rhian sama-sama perantau yang dilahirkan dan dibesarkan di Kerinci, sehingga suguhan kopi istri Agus Taher ini, membuat perbincangan keduanya semakin hangat.
Rhian, si petualang ini, ternyata pantangannya ditantang. Gayung bersambut.
Keduanya sepakat, batas waktu untuk menghasilkan lagu baru bernafaskan dendang Pauah itu 3 bulan.
Dan, kompetisi unjuk kebolehan tanpa trophi itu betul betul dimaknai keduanya sebagai pertarungan, bertarung mematahkan anggapan sebagian besar pencipta Minang, bahwa notasi dendang Pauah itu sulit dijadikan lagu pop Minang.
Kata orang, Prof. Ibenzani Usman mampu menciptakan lagu Lambok Malam, yang beriro dendang Pauh, itu karena ia Profesor. Seniman hebat.
Kenyataannya, kedua seniman keras hati ini mampu menghasilkan karyanya dalam waktu sebulan
Agus Taher muncul dengan lagu bertempo cepat, Lai Tabao Batinggakan, dinyanyikan oleh Anroys, sedangkan Rhian D’Kincai menciptakan lagu berentak slow, Laruik, didendangkan secara manis oleh Dessy Santhia.
Anehnya, kedua pencipta ini mengemas ilham dari sepenggal notasi yang sama pula.
Kebiasaan penasaran apabila ditantang ini juga muncul, ketika Rhian mendengar Ismil Lengah ngomong: “Yan, lai bisa bikin lagu bertema Pesisir Selatan,”
Percakapan itu terjadi dihadapan Gubernur Azwar Anas, yang ketika itu dikunjungi Rhian untuk pamit menghadiri pemberian trophi pemenang Festifal Lomba Cipta Lagu Lingkungan Hidup Tingkat Nasional, tahun 1987.
“Insya Allah pak,” jawab Rhian, dan Ismil Lengah, Bupati Pessel ketawa senang sambil menepuk-nepuk bahu Rhian D’Kincai.
Untuk mempersiapkan lagu ini, ia harus bolak-balik menyusuri nagari-nagari di Pessel untuk mempelajari seluk beluk budaya dan ikon-ikon yang menonjol di setiap daerah.
Sebelum lagu selesai, Bupati Ismil Lengah habis masa jabatannya, sehingga lagu ini terkatung-katung nasibnya.
Tak seorang pun orang Pemda Pessel menghubungi Rhian, meskipun musik lagu ini sudah selesai dikerjakan Ferry Zein.
Dalam penantian yang tak pasti inilah Agus Taher mendengar lagu ini diputar Ferry Zein di studio Caroline Record.
Dalam proses kilat, lagu ini akhirnya direkam Zalmon, menjadi salah satu lagu andalan dalam album Kasiak 7 Muaro. Meskipun ini “lagu otak”, menurut Rhian, inilah lagu kebanggaannya.
IaLagu ini sudah direkam 11 orang penyanyi. (*)