Gubernur: Dapur MBG tak Siap Produksi Masal Makanan

Gubernur Sumbar Mahyeldi Ansharullah saat memberikan keterangana kepada wartawan, Kamis (02/10/2025).
Gubernur Sumbar Mahyeldi Ansharullah saat memberikan keterangana kepada wartawan, Kamis (02/10/2025).

Padang, rakyatsumbar.id—-Insiden keracunan massal akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali mencuat di Sumatera Barat. Sebanyak 110 siswa tingkatan TK dan SD di Kabupaten Agam, mengalami gejala keracunan usai menyantap nasi goreng dari dapur MBG. Peristiwa ini memicu perhatian serius dari Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.

Dalam rapat koordinasi yang digelar di Auditorium Gubernur Sumbar, Kamis (2/10), Gubernur Mahyeldi Ansharullah menegaskan bahwa kejadian serupa tidak boleh terulang kembali.

“Kita telah menegaskan, Satgas di tingkat provinsi dan kabupaten/kota harus bekerja optimal melakukan pengawasan dan kontrol terhadap makanan MBG yang dikonsumsi siswa,” ujar Mahyeldi.

Gubernur juga menjelaskan, dapur MBG yang menjadi sumber keracunan telah ditutup sementara.

“Siswa mengonsumsi nasi goreng pada siang hari. Padahal, biasanya nasi goreng itu menu untuk pagi atau malam. Sekarang dapur MBG itu kami tutup sementara, sampai seluruh kelengkapannya diperbaiki,” jelas Mahyeldi.

Sekretaris Percepatan Penyelenggaraan MBG Sumbar, Iqbal Rama Dipayana, menyampaikan bahwa dari total 110 siswa yang keracunan, 20 orang masih menjalani perawatan di rumah sakit.

“Entah kenapa nasi goreng dijadikan menu makan siang. Tim kami masih melakukan investigasi,” ungkap Iqbal.

Saat ditanya mengenai biaya pengobatan para korban, Iqbal belum bisa memberikan kepastian.

“Kami belum bisa menjelaskan siapa yang menanggung biaya pengobatan. Hal ini akan kami bicarakan dengan Pemkab Agam,” katanya.

Iqbal juga mengaku belum dapat memastikan apakah dapur MBG yang menyebabkan keracunan dapat diproses hukum.

“Itu bukan wewenang kami. Kami akan mendiskusikannya lebih lanjut dengan pemerintah kabupaten agar kejadian serupa tidak terulang lagi,” tegasnya.

Bisa Dijerat Pidana

Menanggapi kejadian ini, pakar hukum kesehatan dari Universitas Eka Sakti Padang, Firdaus Diezo, menyatakan bahwa kelalaian yang menyebabkan orang lain luka bisa dijerat dengan Pasal 360 KUHP.

“Ancaman hukumannya paling lama lima tahun penjara. Keluarga korban bisa melaporkan pihak dapur MBG,” jelas Firdaus.

Tak hanya pidana, korban juga bisa menempuh jalur perdata.

“Mereka bisa menggugat secara perdata atau class action atas kerugian materiil seperti biaya rumah sakit, dan kerugian immateriil seperti trauma dan tekanan psikologis. Gugatan ini bisa ditujukan ke SPPG,” tambahnya.

Dapur tak Siap Produksi Skala Besar

Pakar kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Dr. Mohamad Reza, Ph.D., menyebut bahwa keracunan kemungkinan besar terjadi karena dapur MBG belum siap melayani produksi makanan dalam skala besar.

“Saya kira ini bukan kesengajaan. Tapi karena volume makanan yang banyak, pengelola menjadi kurang teliti dalam memilih dan mengolah bahan makanan,” jelasnya.

Ia menyoroti sejumlah faktor penyebab keracunan, seperti bahan yang tidak dicuci bersih, makanan dimasak terlalu dini, dan kemungkinan kontaminasi dari serangga.

“Kebersihan dapur sangat krusial. Kualitas dapur MBG yang tidak higienis bisa jadi faktor utama,” tegas Reza.

Reza juga membandingkan pengelolaan MBG di Indonesia dengan di Jepang, tempat ia pernah melakukan studi.

“Di Jepang, satu sekolah punya satu dapur. Proses penyajian lebih tertib, dan kualitas makanan terkontrol karena tidak buru-buru. Pemerintah juga rutin melakukan pengecekan,” ujarnya.

Saran senada disampaikan oleh pakar kesehatan dari Universitas Negeri Padang, Dr. dr. Elsa Yuniarti, S.Ked., M.Biomed., AIFO-K. Menurutnya, setiap sekolah seharusnya memiliki dapur MBG sendiri.

“Jika satu dapur melayani satu sekolah, potensi keracunan jauh lebih kecil. Pemerintah harus melakukan kontrol rutin tiap minggu,” katanya.

Pengamat pendidikan UNP, Dr. Fitri Arsih, S.Si., M.Pd., menambahkan bahwa dapur MBG di sekolah akan meningkatkan efisiensi pengelolaan dan kualitas makanan.

“Jika dapur berada di sekolah, distribusi makanan lebih cepat dan kontrol kualitas bisa langsung dilakukan. Orang tua pun bisa ikut mengawasi menu dan bahan makanan yang digunakan,” jelas Fitri.

Ia juga menambahkan, keberadaan dapur MBG di sekolah bisa menggerakkan ekonomi lokal.

“Pihak sekolah bisa melibatkan warga sekitar untuk menyuplai bahan pangan segar. Ini membuka peluang usaha kecil,” ujarnya.

Dapur MBG Masih Terbatas

Berdasarkan data Pemprov Sumbar, saat ini terdapat 120 dapur MBG di Sumbar. Namun, baru 84 dapur yang aktif beroperasi. Kondisi ini menjadi tantangan besar dalam menjamin kualitas dan distribusi makanan MBG ke seluruh sekolah di daerah.

Insiden keracunan MBG di Lubukbasung menjadi tamparan keras bagi Pemprov Sumbar. Program yang bertujuan menyehatkan siswa justru bisa berdampak buruk jika tidak dikawal dengan serius. Perbaikan menyeluruh, mulai dari sistem distribusi, kontrol kualitas, hingga penyediaan dapur per sekolah, menjadi solusi yang mendesak untuk mencegah kejadian serupa terulang. (edg)