Dulu Saling Kelahi, Kini Saling “Menikahi”
“Dulu, sebelum ada jembatan ini kami sering berkelahi dengan warga Jorong Katiagan, apalagi saat bertanding sepakbola,” kenang Lefdi Siska, Kepala Jorong Mandiangin.
Laporan: Handi Yanuar- Nagari Katiagan, Pasaman Barat.
Jembatan Taluak Batiang, Pemersatu Dua Jorong
Jembatan yang dimaksud Lefdi Siska adalah jembatan Taluak Batiang. Jembatan itu menghubungkan dua jorong di Nagari Katiagan, Kecamatan Kinali, Kabupaten Pasaman Barat, yaitu jorong Katiagan dan jorong Mandiangin. Sebelum jembatan ini dibuat, masyarakat di jorong Mandiangin terisolasi berpuluh-puluh tahun. Kadang kala, sebelum ada jembatan Taluak Batiang, masyarakat di sana tidak bisa pulang ke rumah apabila pasang naik.
Masyarakat jorong Mandiangin mengunakan perahu sebagai moda transportasi untuk menyeberang ke jorong Katiagan. Biaya yang dikeluarkan menyewa perahu mencapai Rp200 ribu, pulang-pergi. Itu pun membutuhkan waktu sehari agar sampai ke seberang.
“Kami terisolasi berpuluh-puluh tahun, kalau diperkirakan sekitar 40-50 tahun. Bahkan, perempuan hamil yang akan melahirkan terpaksa melahirkan di perahu,” kata Lefdi, melanjutkan cerita masa lalu itu.
Jorong Mandiangin dan jorong Katiagan berbatasan dengan taluak (Teluk). Teluk adalah perairan yang menjorok ke daratan dan dibatasi oleh daratan pada ketiga sisinya. Teluk banyak dimanfaatkan sebagai pelabuhan. Teluk adalah kebalikan dari tanjung, dan biasanya keduanya dapat ditemukan pada suatu garis pantai yang sama.
Penduduk Jorong Mandiangin berjumlah sekitar 1.400 jiwa, dengan kepala keluarga 510 orang. Fasilitas pendidikan di sana dua sekolah dasar (SD) dan satu sekolah menengah pertama (SMP), serta satu Puskesmas pembantu. Masyarakat di sana mayoritas bekerja sebagai nelayan dan berkebun.
Lokasi Jorong Mandiangin sangat jauh dari pusat kabupaten Pasaman Barat, Simpang Ampek. Dibutuhkan waktu hampir 3 jam menuju ke nagari tersebut dengan moda transportasi darat, seperti mobil dan sepeda motor.
Medan yang berat karena infrastruktur jalan yang tidak memadai membuat jarak seakan-akan bertambah jauh. Memang ada jalan beraspal, tetapi setelah itu jalan tanah, dan berkerikil, dijumpai dan ditempuh saat perjalanan. Pohon-pohon menyapa di kiri dan kanan, seakan-akan memberitahu bahwa seperti inilah kondisi di nagari tersebut.
Jika melihat jarak pusat kabupaten dengan jorong itu. Wanita hamil yang akan melahirkan terpaksa melahirkan di perahu seperti ucapan Lefdi Siska ada benarnya juga. Bahkan, ibu hamil itu bisa saja melahirkan sendiri diatas mobil atau sepeda motor, karena guncangan saat melewati rute jalan yang dikelilingi kebun sawit itu.
“Kini, Insya Allah dengan adanya jembatan Taluak Batiang, dengan biaya Rp10 ribu, naik ojek sudah sampai kita. Dulu, bisa mencapai waktu sampai-sampai sehari karena menunggu air pasang, dan menggeluarkan uang yang banyak untuk menyewa perahu,” ucap Lefdi, pria bertopi itu.
Jembatan Taluak Batiang panjangnya 180 meter, lebar 2 meter. Jembatan itu dibuat secara swakelola oleh masyarakat di sana menggunakan dana desa anggaran 2016 sebanyak Rp280 juta. Jembatan ini awalnya dibuat berlantai kayu nibung, demi ketahanan, pada 2017 diganti dengan seng plat.
Sebanyak 25 orang bekerja membuat jembatan yang nama jembatan itu diambil berdasarkan nama wilayah setempat. Taluak, merupakan batas dua jorong, dan Batiang nama daerah kecil di jorong itu. Mereka bekerja selama 3 bulan, dengan upah Rp60 ribu perhari.
“Manfaat dana desa sungguh luar biasa yang kami rasakan. Yang pertama sekali, selama ini puluhan tahun tidak pernah terhubung dengan satu nagari Jorang Mandiangin dengan Jorong Katiagan. Sekarang kami terhubungkan dan menjalin silaturahmi,” ucap Lefdi, berterima kasih kepada pemerintah.
Rasa syukur Lefdi, seakan-akan mewakili seluruh masyarakat di jorongnya bukan tanpa alasan. Sebab, jembatan itu tidak hanya membuka isolasi jorong yang ia tempati dengan wilayah lain, tetapi juga membuat silaturahmi dua jorong terdekat menjadi erat.
Lelaki kurus itu mengisahkan, dulu masyarakat Jorong Mandiangin dan Jorong Katiagan berkelahi terutama saat pertandingan sepakbola yang mempertemukan kedua jorong, satu nagari ini. Derby dua nagari ini tak kalah panasnya dengan derby tim sekota asal Italia, AC Milan versus Inter Milan, atau biasa disebut derby Della Madonnina (Derby Milan).
“Dulu saling berkelahi karena ego masing-masing, kini saling menikahi karena silaturahmi sudah terjalin dengan baik antara warga Jorong Mandiangin dengan Katiagan yang saling kenal,” sebut Lefdi, tetapi tidak merinci jumlah warga kedua jorong yang telah menikah.
Hal ini juga diakui oleh salah seorang tokoh masyarakat Nagari Katiagan, Horizon Nangkodorajo. Ia menyebutkan jembatan itu banyak sekali manfaatnya bagi nagarinya, terutama pada dua jorong yang ada di sana.
“Secara ekonomi masyarakat juga terbantu karena pengeluaran berkurang, tetapi yang lebih penting adalah silaturahmi dapat terjalin dengan erat antara masyarakat Jorong Mandiangin dengan Jorong Katiagan,” kata Horizon, ketika itu.
Dana desa membuka isolasi. Kekhawatiran menggelola dana desa yang dikucurkan Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), tidak terbukti. Malahan, dana desa memberi dampak positif bagi nagari.
“Ini memberikan dampak positif. Menurut pengakuan masyarakat di sana, termasuk wali jorong terisolir selama ini bisa teratasi. Dengan kehadiran dana desa membuat semangat baru, manfaat dana desa sangat luar biasa,” ucap Staf Ahli Kebijakan Strategi Mendesa PDTT, H. Febby Dt Bangso.
Febby berada di Nagari Katiagan sebagai Ketua Tim Jelajah Desa (Nagari) Kemendes PDTT, Silaturahmi ke Nagari, Ramadan Berbagi di Sumbar. Rombongan menjelajah delapan kota/kabupaten di Sumbar selama 4 hari, dari 9-12 Juni 2018.
Perjalanan Tim Jelajah Desa dimulai dari Kota Padang menuju Padangpariaman, kemudian ke Pariaman menuju ke Pasaman Barat. Selanjutnya menuju Pasaman, Agam, Bukittinggi, Payakumbuh dan berakhir di Kabupaten Limapuluh Kota.
“Dana desa Nagari Katiagan Rp280 juta, bisa membangun jembatan sepanjang 180 meter dengan lebar 2 meter. Terlihat langsung manfaat dana desa. Sebelumnya, dari Mandiangin menuju Katiagan menghabiskan 200 ribu pulang pergi sehari. Bahkan ada warga yang melahirkan diatas perahu,” ucap Febby, menirukan perkataan kepala jorong.
Kemendes PDTT banyak memberikan bantuan kepada desa melalui dana desa. Masyarakat diminta ikut berpartisipasi dengan mengawal dana desa itu agar program-program pemerintah lainnya bisa mempercepat pembangunan di Indonesia.
Pendamping Lokal Desa (PLD) Nagari Katiagan, Jarana, menyampaikan setelah dibangunnya jembatan Taluak Batiang ini, inovasi dalam waktu dekat adalah pengembangan nagari. Pengembangannya dengan meningkatkan ekonomi masyarakat.
“Usaha masyarakat di sana perikanan dan perkebunan. Selanjutnya akan memajukan wisata. Khusus untuk perikanan, dibutuhkan alat tangkap ikan dan alat pengeringan ikan yang akan dijadikan ikan asin,” kata Jarana, yang mengaku menjadi pendamping desa sejak 2015.
Kini warga di dua jorong itu hidup rukun berdampingan. Silaturahmi yang erat dan sudah saling kenal warga pun saling menikahi jika ada yang jatuh hati. Masyarakatnya sekarang sudah terlepas dari terisolasi berpuluh-puluh tahun itu. Sangat terasa manfaatnya, dana desa yang dibangun untuk membuat Jembatan Taluak Batiang telah mempersatukan dua jorong. (*)
(*) Feature ini ditulis saat mengikuti Jelajah Desa (Nagari) Kemendes PDTT, Silaturahmi ke Nagari, Ramadan Berbagi di Sumbar. Rombongan menjelajah delapan kota/kabupaten di Sumbar selama 4 hari, 9-12 Juni 2018.