Penggeledahan dan penyitaan rumah seorang Anggota DPRD Sumatera Barat oleh Kejaksaan Negeri Padang pada 17 November 2025 seharusnya menjadi alarm keras bagi publik. Kasus dugaan korupsi modal kerja senilai Rp 34 miliar ini bukan hanya soal pelanggaran hukum oleh individu, tetapi cermin retaknya relasi antara aturan tertulis dan kenyataan penegakannya. Nilai Rp 34 miliar itu setara dengan lebih dari separuh belanja program peningkatan ekonomi masyarakat di beberapa kabupaten di Sumbar dalam setahun. Pada titik ini, pertanyaan yang layak diajukan bukan lagi “ada korupsi atau tidak”, tetapi: untuk apa kita punya sistem kodifikasi hukum jika korupsi pejabat publik tetap berulang dan massif?
Kodifikasi hukum—yang kerap diajarkan dalam ruang kelas hukum sebagai landasan kepastian—adalah proses pembukuan aturan secara sistematis, tertulis, dan mengikat. Di Indonesia, tindak pidana korupsi dipagari melalui produk kodifikasi seperti KUHP, KUHAP, dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31/1999 jo. 20/2001). Bahkan prosedur yang dilakukan Kejari Padang—mulai dari penggeledahan hingga penyitaan—berjalan bukan berdasarkan intuisi moral, tetapi berdasar ketentuan KUHAP. Artinya, setiap langkah hukum dalam kasus Rp 34 miliar ini berdiri di atas landasan kodifikasi. Namun, keberadaan aturan tertulis ternyata tidak otomatis menghadirkan efek jera atau mencegah penyalahgunaan wewenang, terutama ketika pelakunya adalah pejabat publik.
Sumatera Barat sendiri bukan wilayah yang steril dari praktik korupsi. Berdasarkan data KPK, sejak 2004 hingga 2024 terdapat lebih dari sepuluh kasus korupsi yang menyeret pejabat daerah di Sumatera Barat, mulai dari kepala daerah hingga pejabat OPD. Pada 2021, misalnya, mantan Bupati Solok Selatan dijatuhi hukuman karena gratifikasi pengadaan barang dan jasa. Pada 2022, pejabat Dinas Pendidikan Sumbar terlibat korupsi pengadaan mukena dan busana sekolah. Data ini menggambarkan pola: korupsi pejabat bukan kejadian tunggal, melainkan gejala struktural yang terus berulang meski hukum tertulis sudah tersedia dengan jelas.
Padahal, Sumatera Barat bukan daerah dengan anggaran berlebih. APBD Sumbar tahun 2024 berada di kisaran Rp 6,5 triliun, dan sebagian besar dialokasikan untuk pendidikan, infrastruktur, dan pelayanan publik. Jika dibandingkan dengan nilai dugaan korupsi Rp 34 miliar, angkanya mencapai sekitar 0,5% APBD. Namun dampaknya jauh lebih besar dari persentasenya. Angka tersebut setara dengan pembangunan puluhan ruang kelas baru atau perbaikan jalan penghubung antar-nagari yang selama ini menjadi keluhan masyarakat. Korupsi bukan sekadar kehilangan uang, tetapi hilangnya kesempatan publik untuk hidup lebih baik. Kodifikasi hukum yang tegas menjadi ironis ketika yang dicuri adalah hak warga.
Secara normatif, kodifikasi hadir untuk memastikan bahwa setiap warga negara—termasuk pejabat DPRD—berkedudukan sama di depan hukum. Prinsip ini tidak bisa ditawar. UU Tipikor mengatur dengan terang bahwa penyalahgunaan kewenangan yang menimbulkan kerugian negara adalah bentuk tindak pidana, dan ancaman hukuman maksimalnya mencapai 20 tahun penjara. KUHAP pun memberi ruang legal bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penyitaan dan penggeledahan demi pengumpulan bukti. Dengan kata lain, sistem hukum tertulis sebenarnya memberikan perangkat yang cukup lengkap untuk menangani korupsi. Namun, efektivitasnya justru diuji bukan pada ketegasan teks, melainkan keberanian penegakannya.
Di tingkat praktik, publik Sumbar sudah terlalu sering disuguhi pola yang sama: kasus mencuat, lembaga hukum bergerak, pemberitaan ramai, tetapi ujungnya menguap atau hukuman yang dijatuhkan terlalu ringan. Tidak sedikit masyarakat yang pada akhirnya melihat hukum sebagai prosedur formal belaka, bukan keadilan substantif. Situasi ini melahirkan krisis kepercayaan. Ketika hukum hanya dianggap sebagai tumpukan pasal dalam dokumen, korupsi tidak lagi dipandang sebagai kejahatan luar biasa, melainkan risiko kecil dari jabatan. Di sinilah kodifikasi kehilangan maknanya. Ia berubah dari alat kontrol menjadi arsip legal.
Kasus Rp 34 miliar ini seharusnya menjadi momentum pembuktian. Kodifikasi hanya berguna apabila penegakannya konsisten, transparan, dan bebas intervensi politik. Pejabat publik yang terlibat korupsi harus diproses dengan standar hukum yang sama seperti warga biasa. Jika aparat Kejari Padang berani melanjutkan kasus ini sampai vonis yang adil, publik akan melihat bahwa hukum tertulis bukan sekadar simbol. Namun jika kasus ini berhenti di tengah jalan, masyarakat akan kembali menyimpulkan bahwa aturan hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas—kesimpulan pahit yang terlalu lama diwariskan di republik ini.
Lebih dari itu, pemerintah daerah Sumatera Barat perlu memperkuat sistem pengawasan anggaran. Tingginya kasus korupsi daerah menunjukkan bahwa aturan tertulis tidak cukup tanpa mekanisme kontrol yang ketat. Transparansi penggunaan APBD, audit berkala, dan akses publik terhadap informasi anggaran harus menjadi standar baru. Korupsi pejabat bukan hanya soal pelanggaran hukum, tetapi pengkhianatan terhadap amanat rakyat.
Pada akhirnya, dugaan korupsi Rp 34 miliar ini bukan hanya persoalan individu yang melanggar hukum, melainkan ujian bagi eksistensi kodifikasi hukum itu sendiri. Apakah aturan yang disusun dengan rapi itu benar-benar mengikat semua orang? Ataukah ia hanya menjadi pajangan dalam buku hukum dan lembaran undang-undang? Hukum tertulis seharusnya menjadi kompas yang menjaga arah pemerintahan daerah, bukan peta yang hanya dibuka ketika krisis terjadi.
Masyarakat Sumatera Barat berhak melihat akhir yang jelas dari kasus ini. Bukan headline yang menghilang, bukan proses yang melambat, dan bukan vonis yang lunak. Kodifikasi hukum tidak boleh berhenti sebagai teks. Ia harus menyentuh realitas. Sebab ketika aturan tertulis tidak mampu menghentikan korupsi, maka yang hilang bukan hanya uang negara—tetapi harapan warga bahwa hukum masih punya arti. (*)




