Catatan: Revdi Iwan Syahputra
Di balik kabut yang menggantung di lembah-lembah Sumatera Barat, sebuah wacana lama kembali bergaung seperti dendang lama yang tak pernah usai: menjadikan Minangkabau sebagai daerah istimewa.
Namun, kali ini suaranya bukan datang dari jeritan rakyat atau tetabuhan gandang di surau, melainkan dari ruang-ruang dingin tempat elite merancang takdir bersama secangkir kopi dan peta kuasa.
Mereka bicara tentang keunikan adat, tentang nagari yang tak lekang ditelan zaman, tentang sistem matrilineal yang konon tinggal satu-satunya di bumi nusantara. Tapi benarkah ini tentang warisan yang hendak dijaga? Atau sekadar alat tawar-menawar di meja politik, di saat legitimasi kian murah dan identitas makin gampang diperjualbelikan?
Minangkabau memang bukan daerah biasa. Ia hidup dari falsafah, dari petatah-petitih yang membentuk manusia sebelum hukum mengenalnya. Tapi tak semua yang sakral harus dijadikan status. Sebab keistimewaan sejati tak lahir dari tinta undang-undang, tapi dari keteguhan rakyat memelihara jati dirinya tanpa harus diikat formalitas.
Di balik jargon “pengakuan negara terhadap budaya lokal,” terselip banyak tanya yang tak bisa didiamkan. Siapa yang akan diuntungkan bila status itu diberi? Apakah itu berarti kekuasaan akan kembali ke tangan elite adat, yang tak selalu bersih dari kepentingan? Atau ini hanya permainan retorik untuk menambah daya tawar Sumatera Barat dalam konstelasi politik nasional yang kian cair dan oportunistik?
Di tanah yang dulu melahirkan banyak pemikir republik, dari Tan Malaka hingga Hatta, kini kita bertanya dengan getir: apakah Minangkabau benar-benar butuh status istimewa untuk menjaga marwahnya? Ataukah marwah itu justru sedang digadaikan atas nama status?
Dalam tubuh NKRI yang berdiri di atas semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, keistimewaan bukan barang tabu. Tapi bila tiap daerah berlomba menonjolkan keunikan hanya demi posisi tawar, lalu kapan kita bicara tentang kesetaraan?
Ini bukan penolakan. Ini seruan untuk berpikir ulang, dengan kepala dingin dan hati yang tak silau. Sebab kita tak ingin melihat warisan nenek moyang berubah menjadi senjata politik. Kita tak ingin adat jadi panggung sandiwara.
Dan yang paling penting: kita tak ingin rakyat Minang menjadi penonton saat identitas mereka dinegosiasikan.(*)
Penulis adalah Jurnalis Rakyat Sumbar