Danantara dan Era Erick Thohir

Dari Kekuasaan Terpusat Menuju Tata Kelola Korporasi Modern

Oleh: Revdi Iwan Syahputra

Laporan utama Tempo bertajuk “Erick Thohir Sampai di Sini” membuat siapa pun yang mengikuti dinamika BUMN tergelitik. Di tengah kritik terhadap kinerja Erick, muncul satu babak baru: kehadiran Danantara—holding strategis yang bisa menjadi titik balik arah pengelolaan aset negara.

Transformasi ekonomi Indonesia memasuki babak baru. Dimulainya operasional Daya Anagata Nusantara (Danantara) sebagai holding strategis BUMN bukan sekadar perubahan struktur, melainkan pertanda jelas bahwa era Erick Thohir sebagai pengendali utama perusahaan negara telah berakhir. Momentum ini menandai pergeseran kekuasaan dari satu figur sentral ke sebuah entitas yang dirancang lebih korporatif dan teknokratis—meski belum sepenuhnya steril dari kritik dan kontroversi.

Ketika Erick Thohir diangkat sebagai Menteri BUMN pada 2019, publik menggantungkan harapan besar. Ia dinilai sebagai sosok “outsider” yang bebas dari beban politik partisan, dan digadang-gadang bisa mendisrupsi budaya kronisme serta birokrasi lamban di tubuh BUMN. Dalam lima tahun, ia memang melakukan sejumlah gebrakan, mulai dari rotasi manajemen hingga konsolidasi BUMN strategis.

Namun, seiring waktu, pendekatan Erick justru memperlihatkan watak sentralistik dan politis. Ia tidak sekadar mengurus bisnis negara, tetapi juga mengonsolidasikan kekuatan politik personal—terlihat dari ambisinya menjadi calon wakil presiden dan keterlibatan keluarganya dalam proyek-proyek negara. Kritik terhadap dugaan konflik kepentingan, kegagalan restrukturisasi, hingga minimnya dividen menjadi catatan kelam masa pengabdiannya. Ia akhirnya menjadi simbol dari model lama pengelolaan BUMN: dominasi kekuasaan individu, minim transparansi, dan sarat kepentingan politik.

Danantara, Tafsir Baru atas Kegagalan Lama

Lalu datanglah Danantara. Dibentuk oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto, entitas ini mengangkat semangat baru: pengelolaan profesional berbasis efisiensi korporasi. Dalam kacamata kritis, sebagaimana disampaikan dalam laporan Tempo edisi 9-15 Juni 2025 bertajuk “Erick Thohir Sampai di Sini”, kehadiran Danantara disebut mengancam mekanisme check and balances, karena langsung berada di bawah kendali presiden dan tidak tunduk pada sistem pengawasan hukum yang lazim.

Namun, dari sisi yang lebih konstruktif, Danantara justru dapat dibaca sebagai jawaban sistemik terhadap kebuntuan model Erick. Holding ini tidak lagi mencampuradukkan peran regulator, pembina, dan eksekutor seperti yang terjadi dalam struktur Kementerian BUMN selama ini. Di atas kertas, Danantara mirip dengan Temasek milik Singapura—berperan sebagai entitas investasi negara yang bertugas meningkatkan nilai aset, mempercepat transformasi, dan menjamin keberlanjutan ekonomi jangka panjang.

Yang menarik, penunjukan Dony Oskaria sebagai Chief Operating Officer (COO) Danantara memberi sinyal kuat bahwa Prabowo tidak ingin mengulangi kesalahan Erick. Dony adalah profesional dengan rekam jejak teruji di sektor aviasi dan pariwisata. Ia bukan politisi, bukan bagian dari lingkaran bisnis lama, dan dikenal sebagai pelaksana teknis yang tegas serta adaptif terhadap perubahan global.

Dengan aset lebih dari Rp 14 ribu triliun yang sebelumnya dikelola dengan pendekatan “half-corporate, half-politics”, Indonesia membutuhkan terobosan struktural. Danantara adalah usaha untuk merapikan ulang itu semua. Meskipun kekhawatiran tentang kekuasaan yang terlalu terpusat dan minim pengawasan sah untuk diajukan, namun perlu disadari: tanpa langkah berani, BUMN Indonesia akan terus menjadi beban fiskal, bukan motor pertumbuhan.

Kehadiran Danantara menandai pergeseran fokus dari kekuasaan individu ke sistem kelembagaan. Ia menyudahi era “super menteri” seperti Erick, dan menginisiasi tata kelola yang—jika benar dijalankan—mengandalkan profesionalisme, meritokrasi, dan ukuran kinerja yang lebih rasional.

Harapan Masyarakat Sipil

Sebagai insan pers dan jurnalis yang mengikuti denyut ekonomi dan politik, saya percaya bahwa Danantara adalah eksperimen strategis yang patut dikawal, bukan langsung dicurigai. Model holding investasi telah terbukti efektif di berbagai negara, asalkan dibarengi dengan transparansi, mekanisme audit independen, dan pelibatan publik.

Erick Thohir mungkin sudah sampai di ujung perjalanannya dalam dunia BUMN. Ia membuka pintu reformasi, tapi tidak mampu menjaga konsistensi dan integritasnya. Kini, kita punya kesempatan kedua—dalam bentuk Danantara—yang masih mentah, tapi memiliki fondasi untuk menjadi kuat.

Apakah Danantara akan menjadi Temasek-nya Indonesia, atau justru kembali menjadi sarang kepentingan politik baru? Itu tergantung bukan hanya pada Prabowo dan Dony Oskaria, tetapi juga pada seberapa kuat kita sebagai masyarakat sipil menjaga akuntabilitasnya.

Dari Kekuasaan ke Sistem

Erick Thohir telah menjadi simbol dari harapan yang berubah arah. Namun bangsa yang besar tak berhenti pada satu nama. Kini saatnya kita membangun sistem, bukan memupuk figur. Danantara adalah langkah awal menuju era itu—dari kekuasaan personal ke manajemen berbasis institusi. Kita harus mengawal agar ia tak hanya menjadi nama baru, tetapi juga wajah baru dari keberhasilan ekonomi Indonesia yang berkeadilan, efektif, dan berdaulat.(*)

#Penulis adalah Jurnalis Pemegang Kompetensi Utama, Pemimpin Redaksi Harian Rakyat Sumbar, Mantan Pemimpin Redaksi sejumlah media arus utama di Sumatera Barat, Jurnalis Pemerhati tata kelola BUMNdan komunikasi politik ekonomi nasional.