Butuh Peran Yudikatif untuk Selesaikan Sengketa Publik
Yogyakarta, Rakyat Sumbar — Sengketa administrasi publik harus membutuhkan mediator supaya bisa mencarikan solusinya. Namun, penyelesaian sengketa administrasi publik juga membutuhkan lembaga yudikatif.
“Di Indonesia ini semua bisa jadi sengeketa. Harfiah dari sengketa yaitu perbedaan yang tak ada titik temunya,” kata Adrian Tuswandi, Wakil Ketua Komisi Informasi Sumbar, saat menjadi peserta pelatihan mediator Administrasi Publik, melalui rilisnya, Rabu (2/11) siang.
Ia melanjutkan, menyelesaikan sengketa administrasi publik butuh mediator handal supaya bisa mencarikan solusi, serta titik temu atas perbedaan yang memicu sengketa tersebut.
Menurut Adrian Tuswandi, pada Undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), semua penyelenggaraan atas nama publik adalah terbuka.
“Semuanya terbuka dan mudah akses, sejak perencanaan, pelaksanaan bahkan sampai ke evaluasi, publik berhak tahu jika tidak maka masyarakat bisa mensengketakan informasi publlik ke Komisi Informasi,” sebut Toaik, pannggilannya.
Sementara itu, Prof. Indra Bastian dari Pusat Studi Kebudayaan UGM, mengatakan sengketa administrasi publik semestinya harus diawasi oleh lembaga yudikatif. Hal ini dinilai sudah mendesak diterapkan di Indonesia, untuk menyelesaikan sengketa administrasi atau kebijkan publik.
“Tentu hakim menanganinya harus hakim pilihan yang kuat dalam membaca kebijakan publik sebagai produk eksekutif dan legislatif,” kata Prof. Indra Bastian dari Pusat Studi Kebudayaan UGM, ketika pelatihan mediator tentang Administrasi Publik, Rabu (2/12) siang.
Ia melanjutkan, apabila hakim pengadilan turut serta menguji sengketa kebijakan publik, mak pemerintah dan DPRD tidak bisa gegabah membuat kebijakan untuk rakyat.
Ia menyampaikan, semestinya trias politika murni itu dilakukan, maka kekuasan pengadilan bisa menguji setiap perencanaan atas kebijakan publik.
“Seorang hakim bisa mengatakan bahwa kebijakan itu tidak tepat atau tepat, publik atau masyarakat bisa menyanggah ke hakim bahwa kebijakan pemerintah itu tidak pro publik,” ujar Indra Bastian.
Menurut Indra Bastian, fenomena ini terjadi lantaran trias politika di Indonesia berbeda dengan negara lain. Masyarakat di luar negeri menyikapi di awal, sedangkan masyarakat di Indonesia, menyikapi diakhir.
“Kalau di luar negeri masyarakatnya suka ribut di awal terutama saat perencanaan sebuah kebijakan, sedangkan di Indonesia ributnya diakhir ketika sudah direalisasikan sebuah program,” ujar Indra Bastian. (byr/rel)