IMLF-3 dan Ikhtiar Menyatukan Dunia Lewat Sastra
PADANG, Rakyat Sumbar — Di malam yang hangat di Istana Gubernur Sumatera Barat, suara-suara lirih puisi berpadu dengan gemulai tarian dari berbagai penjuru dunia. Jumat malam, 9 Mei 2025, menjadi saksi bagaimana seni dan sastra menjelma bahasa universal yang menyatukan hati dan jiwa. Gala dinner The Third International Minangkabau Literacy Festival (IMLF-3) bukan sekadar jamuan, melainkan perayaan keberagaman yang berpadu dalam semangat perdamaian.
Para delegasi dari 24 negara hadir mengenakan busana terbaik mereka, menebar warna-warni budaya dalam satu bingkai harmoni. Satu demi satu penampilan menggugah ditampilkan—dari pembacaan puisi hingga pertunjukan tari tradisional. Bahkan, Ny. Harneli Mahyeldi, istri Gubernur Sumbar, ikut naik ke panggung, menyampaikan puisi dengan penuh penghayatan. Malam itu terasa seperti dunia mengecup damai lewat kata dan gerak.
Festival yang mengusung tema “Language, Literature and Culture for Peace” ini lahir dari keprihatinan yang mendalam akan dunia yang terus dirundung konflik. Ketua Panitia IMLF-3, Sastri Bakry, menyebutkan bahwa tema tersebut dipilih sebagai respon atas maraknya peperangan dan perpecahan antarbangsa, seperti yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, India dan Pakistan.
“Politik sering memecah, tapi seni dan budaya menyatukan. Ketika kata menjadi puisi, ia tak lagi menyerang. Ketika tari dipentaskan, ia merangkul, bukan menolak. Inilah kekuatan seni: ia bisa membuat yang bertikai duduk bersama,” ungkap Sastri, penuh keyakinan.
Kekuatan itu pula yang dirasakan Sudipta Chatterjee, delegasi dari India. Di hadapan para peserta, ia menegaskan pentingnya literasi dan budaya sebagai alat diplomasi yang lebih halus, namun jauh lebih dalam pengaruhnya. “Filosofi perdamaian, non-kekerasan, dan keadilan sosial adalah nilai-nilai yang mengikat kita semua. Festival ini bukan hanya penting bagi Indonesia, tapi bagi dunia,” ujarnya.
Sambutan serupa datang dari Sekretaris Daerah Sumbar, Yozarwardi Usama Putra, yang menekankan bahwa IMLF bukan hanya agenda sastra, melainkan juga strategi budaya yang cerdas. “Festival ini momentum strategis menjadikan Sumbar sebagai pusat kebudayaan dan literasi dunia. Melalui diskusi, seminar, dan kolaborasi lintas negara, kita membangun jejaring yang lebih dari sekadar intelektual: kita membangun kemanusiaan,” katanya.
IMLF-3 digelar sejak 8 hingga 12 Mei, melibatkan ratusan penyair, penulis, dan seniman dari empat benua. Di Padang, tempat di mana sastra pernah tumbuh dalam sunyi dan kelok adat, mereka berkumpul, bukan untuk menggurui, tetapi saling berbagi. Dari India hingga Swiss, dari Prancis hingga Brunei, satu pesan yang mereka bawa pulang: perdamaian bukan hanya impian, ia bisa dimulai dari sebaris puisi.
Malam ditutup dengan foto bersama—sebuah potret sejarah: gubernur, penyair, duta besar, akademisi, dan para budayawan dari berbagai bangsa. Di antara mereka, senyum merekah, seakan dunia, meski hanya sesaat, telah berhasil dirangkul oleh kelembutan sastra Minangkabau.(*)