Alek Pekan Kebudayaan Padangpariaman Batal, JKA Dikecam

B. Dt. Sampono: Berpikir Dulu Baru Bicara

Padangpariaman, rakyatsumbar.id — Kekecewaan mendalam meledak dari masyarakat Nagari Ketaping, Kecamatan Batang Anai, Padangpariaman. Mereka merasa dihina dan dipermainkan oleh Bupati Padangpariaman, H. John Kenedy Azis (JKA).

Menyusul pembatalan sepihak kegiatan Pekan Kebudayaan I yang sebelumnya digagas oleh Pemkab dan dijadwalkan berlangsung awal Juli 2025 di Pantai Ketaping.

Kemarahan warga tak terbendung. Meskipun kegiatan resmi dibatalkan hanya beberapa hari menjelang pelaksanaan, masyarakat Ketaping langsung mengambil alih. Mereka menggelar musyawarah mufakat dan memutuskan: alek nagari tetap jalan, tanpa dukungan pemerintah kabupaten.

Tokoh adat Ketaping, B Dt Rajo Sampono, mengungkapkan kekecewaannya dengan nada getir.

“Saya dan masyarakat sangat kecewa. Ini bukan kegiatan yang kami minta, tapi inisiatif Pemkab sendiri melalui Dinas Kebudayaan. Sudah disosialisasikan ke mana-mana, spanduk dan pengumuman sudah tersebar, tiba-tiba dibatalkan begitu saja. Kami merasa dipermalukan,” ujarnya kepada Rakyat Sumbar, Sabtu (06/07/2025).

Dengan peribahasa yang tajam, Rajo Sampono menegaskan sikap masyarakat: “Ndak kayu jenjang dikeping, apapun caranya, acara tetap kita laksanakan.”

Lebih lanjut, ia menyindir gaya kepemimpinan Bupati John Kenedy Azis yang dinilai belum matang dan terkesan plin-plan.

“JKA ini masih adaptasi jadi bupati, karena sebelumnya hanya di legislatif. Seharusnya berpikir dulu sebelum bicara. Raso dibawa naik, pareso dibawa turun. Jangan mempermalukan masyarakat dan diri sendiri,” katanya tajam.

Efisiensi: Retorika atau Alibi?

Menanggapi kemarahan warga, Bupati Padang Pariaman dalam siaran pers resminya menyatakan bahwa pembatalan acara dilakukan berdasarkan Inpres No 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran. Ia mengklaim bahwa anggaran yang direncanakan untuk kegiatan mencapai lebih dari Rp200 juta, jumlah yang disebut tidak relevan dalam kondisi penghematan.

“Kami tidak ingin ada persepsi bahwa pemerintah memboroskan uang rakyat di tengah kebijakan efisiensi nasional,” ujar JKA.

Ia juga menyebut bahwa acara ini adalah buah dari miskomunikasi antara Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dengan pimpinan daerah. Bahkan, JKA melemparkan tanggung jawab ke dinas tersebut dan menyatakan akan melakukan evaluasi internal.

Namun, alasan ini tidak menenangkan hati masyarakat. Sebab, seperti diungkap warga, kegiatan telah disiapkan matang dan diumumkan ke publik atas nama pemerintah daerah. Bagi masyarakat Ketaping, keputusan pembatalan hanyalah bentuk cuci tangan atas ketidaksiapan dan ketidakjelasan komitmen pemerintah daerah terhadap budaya dan masyarakatnya sendiri.

“Kalau soal efisiensi anggaran, kenapa dari awal berani buat kegiatan ini dengan embel-embel resmi dari Pemkab? Kami sudah keluarkan tenaga, pikiran, dan biaya. Ini bukan sekadar acara budaya, ini harga diri masyarakat yang dipermainkan,” cetus seorang tokoh pemuda setempat.

Alek Tetap Jalan, Pemkab Tinggal Nama

Kini, meskipun tanpa embel-embel “Pekan Kebudayaan I” versi Pemkab, masyarakat Ketaping bersatu menyelenggarakan acara ini secara mandiri. Dari tokoh adat, pemuda, hingga kelompok seni, semuanya bergerak bersama. Bagi mereka, ini bukan sekadar panggung budaya, tapi perlawanan terhadap sikap pemerintah yang dianggap tidak konsisten, tidak sensitif, dan jauh dari nilai-nilai kepemimpinan Minangkabau.

Langkah masyarakat Ketaping ini adalah sinyal kuat bahwa harga diri tak bisa dibeli dengan alasan efisiensi. Bahwa ketika negara abai, nagari tetap berdiri. Ketika bupati mundur, rakyat melangkah maju.

“Alek kami bukan sekadar pesta. Ini bentuk kami menjaga martabat. Dan kami tak butuh izin dari mereka yang mempermainkan kami,” pungkas Rajo Sampono. (*)