Ahli Lingkungan UNAND: Anomali Siklon Menjadi Banjir Bandang karena Hutan Sumatera Rusak

Pemandangan udara banjir bandang di Kabupaten Agam.

Padang, Rakyat Sumbar – Prof. Ir. Rudi Febriamansyah, M.Sc., Ph.D., pakar manajemen lingkungan Universitas Andalas, melihat rangkaian banjir bandang dan galodo di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebagai pertemuan dua krisis sekaligus, anomali iklim di atmosfer dan kerusakan lingkungan yang sudah menumpuk di daratan, terutama akibat ekspansi perkebunan sawit yang tidak terkendali.

Ia mengakui, dari sisi atmosfer, para ahli iklim menyebut adanya anomali siklon yang masuk ke wilayah ekuator. Situasi ini tidak lazim dan sangat mungkin berkaitan dengan perubahan iklim global akibat pemanasan bumi, konsumsi energi yang masif, dan lonjakan emisi karbon.

Namun, menurutnya, besaran kerusakan di daratan sangat ditentukan oleh kondisi lanskap yang sudah lama “sakit”.

“Anomali siklon itu bertemu dengan daerah tangkapan air yang sudah rusak. Hutan yang mestinya menahan dan mengatur aliran air sudah banyak hilang. Jadi ketika hujan ekstrem turun, yang terjadi adalah banjir bandang dan galodo,” ujar Prof. Rudi.

Daya Dukung Lingkungan Sumatera Tembus Batas

Penjelasan Prof. Rudi tidak berhenti pada tingkat konsep. Ia merujuk data terbaru Sawit Watch tahun 2022 yang secara tegas menunjukkan bahwa Pulau Sumatera sudah memasuki fase defisit ekologis untuk komoditas sawit.

Berdasarkan pendekatan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup (D3TLH), luas tutupan sawit di Sumatera telah mencapai 10,70 juta hektare. Angka ini melampaui nilai batas atas sawit yang diperhitungkan untuk Pulau Sumatera, yaitu 10,69 juta hektare.

Secara matematis selisih itu terlihat kecil. Namun dalam perspektif lingkungan, lonceng peringatan sudah berbunyi: sawit tidak lagi tumbuh dalam ruang ekologis yang aman.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah pola sebarannya. Merujuk Peta Penggunaan Lahan (PPL), sekitar 5,97 juta hektare dari perkebunan sawit di Sumatera berada dalam wilayah yang dikategorikan sebagai “Variabel Pembatas”.

Ini adalah zona yang secara hidrologis dan fisik sebenarnya tidak layak untuk tanaman monokultur karena berfungsi melindungi keanekaragaman hayati dan habitatnya serta menjaga kestabilan sistem hidrologi.

“Ketika hutan di area variabel pembatas dikonversi menjadi kebun sawit monokultur, lanskap kehilangan kemampuan alaminya sebagai ‘penyerap’ air. Akibatnya muncul aliran permukaan yang ekstrem dan berujung bencana banjir bandang,” jelas Prof. Rudi.

Dengan kata lain, masalahnya bukan hanya seberapa luas sawit ditanam, tetapi di mana sawit itu ditanam.

Jejak Sawit di Jalur Banjir Bandang
Analisis spasial Sawit Watch yang dikutip Prof. Rudi memperlihatkan sesuatu yang sangat konkret: tumpang tindih antara tutupan sawit, area berisiko, dan wilayah terdampak banjir bandang di Aceh, Mandailing Natal, dan Pesisir Selatan.

Di Aceh, banjir bandang terjadi di lanskap yang di dalamnya terdapat sekitar 231.095,73 hektare konsesi perkebunan sawit. Di Mandailing Natal, Sumatera Utara, wilayah terdampak banjir bandang memiliki kurang lebih 65.707,93 hektare konsesi sawit.

Sementara itu, di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, banjir bandang melanda kawasan yang mencakup sekitar 24.004,33 hektare konsesi sawit. Jika dijumlahkan, terdapat sekitar 320.807,98 hektare konsesi perkebunan sawit di dalam bentang lanskap yang mengalami banjir bandang di tiga wilayah tersebut.

“Ratusan ribu hektare konsesi sawit itu menggambarkan bahwa banjir bandang di Sumatera tidak bisa dijelaskan hanya dengan curah hujan ekstrem dan anomali cuaca. Ada persoalan tata kelola ruang dan tekanan terhadap daya dukung lingkungan, terutama di daerah tangkapan air yang berada di dalam maupun sekitar konsesi sawit berskala besar,” tegasnya.

Menurut Prof. Rudi, kombinasi faktor hidrologis dan ekspansi konsesi di zona sensitif membuat risiko banjir meningkat tajam. Jalur dan sebaran banjir bandang yang terekam dalam peta analisis spasial bukan kebetulan. Ia menunjukkan korelasi antara pola pemanfaatan ruang dengan arah hantaman bencana.

Dari Hutan Penyangga ke Kebun Monokultur

Jika ditarik ke belakang, persoalan dasarnya ada pada perubahan fungsi kawasan hutan. Di daerah tangkapan air, hutan alam berperan sebagai “penyangga” yang menahan, menyimpan, dan melepaskan air secara bertahap. Akar pohon memperkuat tanah, serasah daun menyerap dan memecah energi air hujan, struktur ekosistem menciptakan ruang simpan air di dalam tanah.

Begitu hutan alam diubah menjadi kebun monokultur, fungsi ekologi ini runtuh satu per satu. Pola perakaran berubah, keanekaragaman vegetasi menyusut, lapisan serasah berkurang, dan tanah menjadi lebih padat. Dalam kebun sawit, aliran air cenderung terkonsentrasi pada jalur tertentu, terutama saluran drainase dan lereng terbuka.

“Di sepanjang Bukit Barisan, kemiringan sungai tinggi dan ini kawasan tangkapan air aktif. Dalam kondisi demikian, konversi hutan di lereng dan lembah menjadi kebun monokultur akan mempercepat aliran permukaan. Ketika hujan ekstrem datang, air dan material sedimen bergerak jauh lebih cepat ke hilir,” kata Prof. Rudi.

Dalam banyak kasus galodo, kayu bekas tebangan dan material biomassa lain yang ditinggalkan di lereng membentuk semacam bendungan alam di lembah-lembah kecil. Saat debit air naik mendadak, bendungan itu jebol. Air, lumpur, batu, dan kayu meluncur bersamaan menghantam permukiman yang sering kali telah berdiri terlalu dekat dengan alur sungai.

Tata Ruang yang Longgar, Warga di Jalur Bahaya

Di titik ini, masalah ekologi bertemu dengan masalah tata kelola ruang. Prof. Rudi menilai pemerintah tidak cukup tegas mengatur dan menegakkan larangan permukiman di bantaran sungai, terutama di kawasan berlereng curam dan rawan banjir bandang.

“Harusnya tidak ada pemukiman dalam radius 50 sampai 100 meter dari tepi sungai. Apalagi di sepanjang Bukit Barisan yang kemiringan sungainya tinggi. Namun kenyataannya, rumah, fasilitas umum, bahkan infrastruktur vital berdiri sangat dekat dengan alur sungai,” ujarnya.

Akibatnya, ketika banjir bandang datang, warga praktis menjadi pihak yang paling depan menanggung konsekuensi dari serangkaian keputusan tata ruang yang gagal menempatkan keselamatan publik sebagai prioritas.

D3TLH Terlampaui, Sinyal Keras dari Alam

Menurut Prof. Rudi, banjir bandang di Aceh, Mandailing Natal, dan Pesisir Selatan perlu dibaca sebagai sinyal keras bahwa daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di Pulau Sumatera sudah terlampaui.

“Banjir bandang di Sumatera itu sinyal keras dari alam bahwa D3TLH sudah terlampaui. Kombinasi faktor hidrologis dan ekspansi konsesi di zona sensitif membuat risiko banjir semakin tinggi dan dampaknya meluas,” jelasnya.

Dalam situasi ini, ia menilai kebijakan “business as usual” di sektor perkebunan sawit dan tata ruang hanya akan memperbesar ongkos sosial ekonomi bencana di masa depan.

“Hanya kebun sawit eksisting yang dapat dipertahankan tanpa ada peluang ekspansi baru di Sumatera. Temuan ini menegaskan perlunya pengendalian ketat terhadap perluasan sawit untuk memastikan keberlanjutan ekologis dan kepastian tata ruang,” tegas Prof. Rudi.

Mendesak: Moratorium Ekspansi dan Penataan Ulang Ruang

Dari paparan data dan analisis tersebut, terlihat jelas bahwa penanganan banjir bandang tidak bisa berhenti pada tanggap darurat dan rehabilitasi pascabencana. Ada pekerjaan struktural yang menuntut keberanian politik.
Pertama, pengendalian ketat ekspansi perkebunan sawit, terutama di wilayah variabel pembatas dan daerah tangkapan air.

Ini bukan hanya urusan izin baru, tetapi juga peninjauan ulang konsesi yang sudah telanjur masuk ke zona yang secara hidrologis tidak layak.

Kedua, penataan ulang pemanfaatan ruang yang konsisten dengan D3TLH di seluruh Indonesia, bukan hanya di Sumatera. Di banyak provinsi lain, tekanan serupa juga mulai terlihat dalam bentuk deforestasi, konversi lahan basah, serta ekspansi monokultur di kawasan lindung hidrologis.

Ketiga, penegakan aturan keras terkait permukiman di bantaran sungai dan zona rawan bencana. Tanpa relokasi terencana dan penertiban yang adil, korban banjir bandang akan selalu datang dari kelompok yang tinggal di jalur bahaya.

“Perbaikan tata kelola perkebunan sawit bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sudah menjadi keharusan mendesak demi keselamatan rakyat dan keberlanjutan ekonomi jangka panjang,” tutup Prof. Rudi.

Bagi publik di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, bencana kali ini bisa menjadi cermin keras tentang arah pembangunan yang ditempuh selama ini.

Pertanyaannya sederhana namun menentukan: apakah pemerintah berani menjadikan data ekologis dan batas daya dukung sebagai dasar keputusan, atau kembali menyerah pada logika ekspansi jangka pendek yang justru menyiapkan bencana berikutnya. (*)