Persekusi Pelajar di Sumbar, Aktivis Angkat Bicara
Membungkam Demokrasi di Sumbar
Padang, Rakyat Sumbar– Ketidakprofesionalan Kepolisian Daerah Sumbar dalam memberikan pengamanan serta melakukan penangkapan terhadap massa aksi menolak Undang-Undang Cipta Kerja buatan pemerintah di Padang, Sumbar. Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar menilai ada tendensi yang dibangun untuk membungkam demokrasi di Indonesia. Hal itu dikatakan Direktur LBH Padang, Wendra Rona Putra, saat konferensi pers di LBH Padang, Sabtu (10/10/2020).
Pembungkaman demokrasi yang dimaksud Wendra yakni terkait penangkapan sewenang-wenang dilakukan aparat dalam unjuk rasa, 8 dan 9 Oktober 2020. Seperti dialami DRA, 15, yang kebetulan sedang magang di salah satu CV di dekat kantor DPRD Sumbar. Ia diminta membeli rokok di luar oleh pembimbing dan selang beberapa lama DRA tidak kembali dan telah berada di Mako Brimob Polda Sumbar.
Selanjutnya dialami GD,14, korban berangka dari rumah Tabing Pukul 15.39 WIB menuju bengkel ayahnya di Jalan Khatib Sulaiman untuk mengantar karbit. Namun ketika ditunggu oleh ayahnya, GD tidak tiba dan telah berada di Mako Brimob Polda Sumbar. Kemudian AA, 15, hendak latihan sepak bola di Brandon (belakang Basko Hotel) mengambil jalur jalan bundaran gedung DPRD Sumbar sudah tidak terlihat dan tiba-tiba berada di Mako Brimob Polda Sumbar. Ini baru salah satu contoh dan masih banyak lagi.
“Tindakan sewenang-wenang notabene kelompok umur harusnya dilakukan sesuai dengan batas usia, karena mereka masih anak-anak bukan massa aksi orang dewasa. Sejatinya anak dilindung negara dan secara hukum ada Undang-Undang Perlindungan Anak,” jelas Wendra.
Tidak hanya itu KMSS sangat menyayangkan sikap apalagi statment dari Kapolres di media lokal termasuk tulisan di akun media sosial Instagram @brimob_sumbar. Wendra menyebut itu telah mempersekusi pelajar lewat platform media sosial dan statement yang keluar di media lokal. “Tuduhan itu sangat tendensius dan merendahkan nalar publik dalam menyampaikan pendapat terhadap nasib mereka di depan publik,” katanya.
Sejumlah organisasi, akademisi, dan aktivis yang tergabung dalam “Masyarakat Sipil Sumbar” menilai pengamanan aksi demonstrasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja, tanggal 8-9 Oktober 2020 di DPRD Sumatra Barat (Sumbar) seolah-olah dilakukan dengan tidak profesional, diwarnai tindakan represif oleh petugas yang berasal dari Polda Sumbar dan Polresta Padang. Persoalan lainnya “Tuduhan bahwa siswa STM menerima bayaran untuk melakukan aksi demonstrasi,” sambung Wendra.
Tuduhan ini merupakan persoalan serius yang perlu disikapi, karena aksi-aksi yang dilakukan oleh mahasiswa, buruh, petani, pelajar dan masyarakat merupakan reaksi atas kebijakan Pemerintah Indonesia (Presiden dan DPRRI) yang masih saja membahas dan mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang sedari awal telah diingatkan oleh Publik untuk tidak dilanjutkan karena cacat secara hukum dan prosedural serta tidak pro pada kepentingan rakyat (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).
Feri Amsary, dari akademisi juga menilai tuduhan-tuduhan pada remaja atau pelajar yang akan membuat rusuh karena dibayar tersebut tentu wajib dibuktikan oleh pihak kepolisian.
“Apabila nantinya terbukti bahwa tidak ada masyarakat yang menyuarakan penolakan Omnibus Law yang membayar para pelajar yang diamankan tersebut, atau yang membayar adalah para penyusup, maka pihak kepolisian berkewajiban untuk menyampaikan permintaan maaf kepada publik,” tegas Feri.
Jangan sampai, lanjutnya, Kepolisian sebagai penegak keamanan malah terjebak membangun kontra opini dengan menyampaikan informasi-informasi yang menyesatkan.
Organisasi yang tergabung dalam “Masyarakat Sipil Sumbar” ini adalah LBH Padang, Walhi Sumbar, UKM PHP Unand LAM & PK FHUA, Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Unand, Perkumpulan Qbar, Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M), dan Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM).
Selanjutnya Negara Mahasiswa FISIP Unand, SIRIAH SUMBAR, Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumbar, PBHI Sumbar, BEM Fakultas Hukum Unand, Aksi Kamisan Padang, Gerakan Kolektif Sumbar, Daulat Institute, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Sumbar, dan WCC Nurani Perempuan. Sementara itu, akademisi dan aktivis antara lain, Feri Amsari, Hendriko Arizal, Khairul Fahmi, Roni Saputra, Fabio Dinasti dan Feri Ardila.
Menyampaikan sikap, pertama aspirasi kaum muda dari pelajar mesti juga dilindungi oleh negara. Kepolisian mesti memprioritaskan kebijaksanaan dan kemanusiaan dalam pengawalan aksi yang juga diikuti pelajar. Penting bagi semua institusi kepolisian tidak melakukan stigma negatif dan menangkap semua pelajar yang ikut aksi. Perlu dipahami bahwa kehadiran pelajar didasari dari empati terhadap nasib bangsa.
Kedua, bagi orang tua pelajar agar menghargai aspirasi anak-anaknya dan selalu mengingatkan agar melakukan aksi-aksi damai. Ketiga, Kepolisian mesti melakukan pengayoman terhadap semua peserta aksi tak terkecuali pelajar. Kepolisian mesti patuh dan konsisten menerapkan Perkap Nomor 2 Tahun 2019 dan tidak menggunakan kekerasan.
Keempat, Siapapun harus menghargai kebebasan menyampaikan pendapat di depan umum dan menghargai keberagaman sikap terhadap UU Omnibus. Kelima meminta Ombudsman untuk melakukan serangkaian tindakan pemeriksaan terhadap prosedur penangkapan yang patut diduga tidak sesuai dengan prosedur hukum.
Hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan atau balasan dari Polda Sumbar. (hrf)