Utama  

UNAND dan Malaysia Bangun Jembatan Peradaban, Hidupkan Kembali Spirit Madani di Era Modern Padang, rakyatsumbar.id

Universitas Andalas mengadakan Kuliah Umum Internasional bertajuk “Malaysia Madani: Model Pembangunan Negara Kontemporer, Inspirasi Kota Madinatun Nabi, Solusi Keamanan Global” di Gedung Pustaka UNAND, Senin (10/11).

Padang, rakyatsumbar.id— Rektor Universitas Andalas (UNAND) Efa Yonnedi menegaskan pentingnya menghidupkan kembali nilai-nilai kebersamaan, moralitas, dan kemanusiaan sebagai fondasi membangun peradaban bangsa.

Hal itu disampaikannya saat membuka Kuliah Umum Internasional bertajuk “Malaysia Madani: Model Pembangunan Negara Kontemporer, Inspirasi Kota Madinatun Nabi, Solusi Keamanan Global” di Gedung Pustaka UNAND, Senin (10/11).

Acara dihadiri para Wakil Rektor, Sekretaris Universitas, para Dekan, dosen, mahasiswa, serta delegasi dari WADAH Malaysia, SALWA Malaysia, Kolej Dar Al Hikmah, dan PKPMI.

Dalam sambutannya, Efa Yonnedi menyebut konsep Malaysia Madani menjadi pengingat bagi umat Islam tentang pentingnya menerjemahkan nilai-nilai peradaban Islam klasik ke dalam konteks modern tanpa kehilangan ruh spiritualnya.

“Fondasi peradaban Islam sejati berdiri di atas nilai kemanusiaan dan kesadaran spiritual, bukan semata pada struktur ekonomi atau kekuasaan,” ujarnya.

Menurutnya, Malaysia Madani bukan sekadar slogan politik, melainkan kerangka konseptual pembangunan yang menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan tanggung jawab moral, berlandaskan iman, ilmu, dan amal.

“Universitas Andalas harus menjadi laboratorium peradaban, tempat iman, ilmu, dan amal bersenyawa melahirkan manusia unggul yang berpikir jernih, berjiwa sosial, dan berakhlak,” tambahnya.

Efa juga mengapresiasi kehadiran Dato’ Ahmad Azam bin Ab Rahman, Penasihat Khas Menteri Luar Negeri Malaysia Bidang Kemanusiaan dan Pembangunan Semula, beserta seluruh delegasi Malaysia.

“Semoga kuliah umum ini menjadi jembatan peradaban antara Malaysia dan Indonesia, dua bangsa serumpun yang memiliki tanggung jawab besar mengembalikan wajah Islam yang rahmatan lil ‘alamin,” tuturnya.

Sekretaris Universitas Andalas, Aidinil Zetra, menilai konsep masyarakat madani relevan dengan kondisi sosial Indonesia saat ini yang tengah mengalami penurunan kemampuan hidup bersama dalam keragaman.

“Kita menyadari, Indonesia hari ini mengalami penurunan kemampuan hidup bersama dalam keberagaman, baik di dunia nyata maupun di dunia maya,” ujarnya.

Ia menjelaskan, masyarakat madani adalah bentuk ideal masyarakat yang menempatkan nilai kemanusiaan, moral, dan spiritual sebagai dasar kehidupan sosial.

“Masyarakat madani adalah posisi paling baik dan akur untuk merajut kembali keberagaman yang mulai renggang akibat polarisasi sosial,” jelasnya.

Aidinil menegaskan, model masyarakat ini pernah diterapkan Rasulullah SAW saat membangun Kota Madinah melalui Piagam Madinah, yang menegakkan prinsip keadilan dan penghargaan antaragama, suku, serta budaya.

“Rasulullah sudah menerapkan itu. Masyarakat Madinah hidup damai dalam keberagaman, itulah inspirasi yang relevan bagi kita,” katanya.

Dalam kuliah umum tersebut, Penasehat Khas Menteri Luar Negeri Malaysia Bidang Kemanusiaan dan Pembangunan Semula, Dato’ Ahmad Azam bin Ab Rahman, menegaskan bahwa perjuangan menegakkan Islam bukanlah tentang penubuhan organisasi atau slogan semata, tetapi merupakan perjalanan panjang menuju kesejahteraan umat.

“Ini bukan tentang nama atau struktur, tetapi tentang perjalanan membina masyarakat bahagia dengan nilai Islam,” ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa kebangkitan Islam di Malaysia berakar dari semangat generasi muda dekade 1970-an yang bertekad menjadikan Islam sebagai jalan penyelesaian persoalan bangsa pascakolonialisme panjang.

“Anak muda waktu itu yakin umat hanya bisa maju dengan berpandukan Islam. Mereka merancang dan berjuang membangun kembali kekuatan agama dalam kehidupan masyarakat,” katanya.

Menurutnya, pada masa itu Malaysia baru merdeka dan sedang mencari arah pembangunan bangsa setelah ratusan tahun dijajah oleh berbagai kekuatan asing, mulai dari Portugis, Belanda, Inggris hingga Jepang.

“Anak-anak muda pada tahun 70-an melihat bahwa umat hanya bisa maju dengan berpandukan Islam. Mereka berkumpul, merancang, dan berjuang bagaimana mengembalikan kekuasaan agama sebagai dasar membangun masyarakat,” ujarnya.

Dato’ Ahmad Azam mengingatkan, perjuangan para pemuda tersebut merupakan titik penting dalam mengubah legasi penjajahan yang telah membelenggu umat selama berabad-abad.

“Malaysia dijajah oleh Portugis sejak 1511, kemudian oleh Belanda lebih dari 200 tahun, oleh British juga lebih dari 200 tahun, dan akhirnya oleh Jepun (Jepang). Warisan penjajahan itu bukan sekadar fisik, tetapi turut mempengaruhi cara berfikir dan jatidiri umat,” tambahnya.

Dato’ Ahmad Azam menegaskan, warisan penjajahan bukan hanya fisik, tetapi juga membelenggu cara berpikir umat. Karena itu, generasi muda masa kini harus meneruskan perjuangan dengan ilmu, kesabaran, dan kasih sayang.

“Umat ini mesti bangkit menjadi kuasa yang membawa kebaikan bagi dunia,” ungkapnya.

Ia menyeru generasi masa kini untuk meneruskan semangat perjuangan itu, mengembalikan nilai, maruah, dan kekuatan Islam sebagai landasan kemajuan bangsa.

“Negara ini berada di tengah-tengah dunia Islam, mempunyai tanggung jawab besar untuk menjadi contoh. Jangan biarkan pengaruh luar melemahkan kita. Umat ini mesti bergerak dan mengambil peranan sebagai kuasa yang membawa kebaikan kepada dunia,” tegasnya. (mul)