PADANG  

Ketika Warga Mulai Pilah Sampah: Cerita Perubahan dari Parupuk Tabing, Padang

Komitmen untuk terciptanya sistem pengelolaan sampah yang lebih baik di Kota Padang, diperkuat juga dengan ajang Mamilah Fest 2025 yang digelar di Taman Museum Adityawarman pada Sabtu (16/8/2025). Festival bertema “Padang Goes to Zero Waste” ini dikemas dalam konsep edutainment dengan menggabungkan hiburan dengan edukasi lingkungan.

Padang, Rakyat Sumbar – Kota Padang, merupakan ibu kota Provinsi Sumatera Barat yang setiap harinya menghasilkan lebih dari 640 ton sampah. Sebagian besar masih dibuang ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah, sebagian kecil didaur ulang, dan sisanya bahkan berakhir di sungai, drainase, atau pantai. Seiring pertumbuhan penduduk yang kini mencapai lebih dari 900 ribu jiwa, tantangan pengelolaan sampah pun semakin kompleks.

Selama ini, pola yang dominan adalah kumpul-angkut-buang. Sampah bercampur tanpa pemilahan, lalu dikirim ke TPA sampah. Tak heran, Kota Padang menjadi salah satu titik krusial dalam upaya nasional menuju target 100% pengelolaan sampah perkotaan sebagaimana diamanatkan RPJMN 2020–2024 dan Perpres No. 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

ISWMP Hadir Menawarkan Perubahan dari Hulu ke Hilir

Program Improvement of Solid Waste Management to Support Regional and Metropolitan Cities Project (ISWMP) hadir di Kota Padang, tidak hanya membangun infrastruktur fisik, tetapi juga membenahi sistem layanan dari hulu hingga hilir. Implementasi ISWMP fokus pada lima pilar utama:

• Penyusunan dan penetapan Rencana Induk Sistem Pengelolaan Sampah (RISPS) serta penguatan regulasi lewat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.

• Peningkatan peran aktif masyarakat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah.

• Penguatan kelembagaan pengelolaan sampah agar lebih efektif.

• Pengembangan mekanisme pendanaan dan sistem penarikan retribusi pengelolaan sampah.

• Dukungan pendanaan pembangunan fasilitas pengolahan sampah berteknologi tinggi.

Kelima pilar ini dirancang sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi demi mewujudkan tata kelola persampahan yang modern dan berkelanjutan. Misalnya pembuatan RISPS, berfungsi sebagai peta jalan strategis yang menetapkan arah pembangunan infrastruktur persampahan, kerangka kebijakan, dan proyeksi pembiayaan jangka panjang. Regulasi daerah yang kuat menjadi landasan hukum pelaksanaan sistem ini. Peningkatan kapasitas kelembagaan melalui pelatihan Sumber Daya Manusia (SDM) dan pendampingan teknis juga menjadi kunci keberhasilan. Dengan sistem kelembagaan yang tangguh, implementasi di lapangan dapat berlangsung efektif dan konsisten.

Keberlanjutan pengelolaan sampah juga sangat bergantung pada skema pembiayaan yang tepat. ISWMP turut mendampingi pemerintah daerah dalam merancang model pembiayaan yang realistis dan berkelanjutan, mulai dari analisis biaya operasional hingga simulasi tarif retribusi yang sesuai kemampuan masyarakat.

Sedangkan pada pilar yang kedua, ISWMP melalui paket pekerjaan Peningkatan Peran Aktif Masyarakat (PPAM) membantu Pemerintah Kota Padang untuk mendorong perubahan perilaku di tingkat rumah tangga, agar memilah sampah menjadi kebiasaan sehari-hari.

“Ke depan, masyarakat harus terus memilah sampah dari rumah. Kota ini tidak akan pernah bersih kalau masyarakat tidak terlibat langsung,” tegas Wali Kota Padang, Fadly Amran.

Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha menjadi kunci dalam membangun sistem pengelolaan sampah yang bukan hanya efektif, tetapi juga berkelanjutan dalam jangka panjang.

Untuk memastikan pendekatan ini berjalan efektif, PPAM Kota Padang memfasilitasi wilayah percontohan yang bisa menjadi tolok ukur penerapan program di lapangan. Oleh karena itu, RW 02 Kelurahan Parupuk Tabing, Kecamatan Koto Tangah, dipilih sebagai lokasi pilot project pertama. Dengan jumlah warga sekitar 250 KK yang terdiri dari sekitar 1.000 jiwa, kawasan ini menjadi titik awal pengujian sistem pilah sampah berbasis warga. Kegiatan ini berlangsung selama tiga bulan, mulai November 2024 hingga Januari 2025.

Edukasi, Komposter, dan Kesepakatan Warga Jadi Langkah Awal

Proses dimulai dengan koordinasi bersama ketua RW, RT, tokoh masyarakat, hingga perangkat Puskesmas Lubuk Buaya. Warga diberi edukasi mengenai pentingnya memilah sampah menjadi tiga jenis, yaitu sampah organik, anorganik, dan residu.

Di tahap awal, ember bekas digunakan sebagai wadah memilah sederhana.Selanjutnya, lima unit komposter drum dibagikan dan diletakkan di rumah tokoh RW dan RT. Komitmen warga juga diperkuat dengan kesepakatan bersama soal teknis pemanfaatan komposter. Sampah organik dikumpulkan dan diolah bersama, sebagian juga diberikan kepada pemilik ternak.

Sementara itu, sampah anorganik disalurkan kepada pemulung lokal, dan residu tetap diangkut oleh petugas dari BPK2L (Badan Pengelola Kebersihan dan Lingkungan). Penimbangan dilakukan rutin oleh tim PPAM untuk memantau progres dan mendorong keterlibatan warga secara konsisten.

Sebelum proyek ini dilaksanakan, warga di RW 02 belum memiliki kebiasaan memilah sampah. Seluruh sampah rumah tangga tercampur begitu saja, menumpuk di depan rumah, lalu diangkut langsung ke TPS tanpa proses pemilahan. Kondisi ini memicu berbagai masalah, mulai dari bau tidak sedap hingga potensi pencemaran lingkungan.

Namun, setelah tiga bulan pendampingan intensif, terjadi perubahan positif, sekitar 22% warga mulai membiasakan diri memilah sampah organik dan anorganik dari rumah. Angka ini memang masih di bawah target nasional 30%, tetapi menjadi langkah awal yang berpotensi besar untuk peningkatan ke depan. Keberhasilan ini juga menjadi bukti bahwa dengan edukasi yang konsisten, fasilitasi sarana pendukung, serta keterlibatan aktif masyarakat, perilaku baru dalam pengelolaan sampah dapat dibangun secara bertahap.

Selain tumbuhnya partisipasi warga, dampak positif lain juga terlihat pada penguatan fasilitas pengelolaan sampah organik di tingkat lokal. Komposter rumah tangga mulai digunakan warga untuk mengolah sampah organik ,bahkan, muncul gagasan mendirikan rumah maggot sebagai solusi jangka panjang pengelolaan sampah organik. Inisiatif ini diusulkan oleh koperasi masjid RW 02, yang berharap rumah maggot dapat menjadi unit usaha berbasis lingkungan sekaligus menciptakan sumber pendapatan tambahan bagi warga.

Langkah-langkah yang dimulai di RW 02 ini menjadi bukti nyata bahwa perubahan perilaku dan inovasi lingkungan dapat tumbuh dari skala komunitas. Harapannya, keberhasilan ini bisa menjadi model bagi kawasan lain yang ingin membangun sistem pengelolaan sampah berkelanjutan.

Tantangan Tak Sedikit, Tapi Solusi Dikerjakan Bersama

Berbagai tantangan muncul sepanjang pelaksanaan program. Rendahnya kesadaran warga menjadi hambatan utama, sebagian besar masih menganggap pemilahan sampah sebagai pekerjaan tambahan yang merepotkan. Selain itu, program pengangkutan oleh LPS (Lembaga Pengelola Sampah) yang belum sepenuhnya selaras dengan sistem pemilahan, serta minimnya kepercayaan masyarakat terhadap bank sampah juga semakin mempersulit terjadinya perubahan perilaku.

Di sisi lain, keterbatasan tenaga pendamping juga menjadi masalah. Satu kader edukasi hanya mampu menjangkau maksimal 150 rumah dalam sebulan, sementara cakupan wilayah yang dibutuhkan lebih dari tiga kali lipat jumlah tersebut. Kondisi ini membuat edukasi berjalan lambat dan tidak merata.

Untuk menjawab berbagai kendala tersebut, sejumlah langkah strategis mulai diterapkan seperti penambahan jumlah kader dilakukan untuk memperluas jangkauan edukasi ke rumah-rumah warga dan perkuatan kolaborasi dengan pemulung dan bank sampah sebagai mitra lapangan yang strategis. Tidak hanya itu, upaya mendorong lahirnya regulasi lokal pun dilakukan dengan memberi insentif kepada warga yang disiplin memilah sampah dari sumbernya.

Dari Satu RW ke Skala Kota: Menuju 16 Kelurahan Prioritas

Pilot project ini hanyalah permulaan. PPAM Kota Padang telah menetapkan 16 kelurahan sebagai wilayah prioritas untuk replikasi program. Upaya sosialisasi pun dilakukan secara masif melalui berbagai saluran, mulai dari pertemuan tatap muka, media sosial, hingga grup WhatsApp warga.

Selain itu, program ini juga melibatkan lintas sektor untuk memperluas jangkauan edukasi. Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan digandeng untuk mendorong partisipasi anak-anak dan keluarga, sehingga pesan tentang pentingnya memilah sampah dapat ditanamkan sejak dini dan dibawa ke lingkungan rumah tangga. Sinergi ini diharapkan mampu mempercepat perubahan perilaku masyarakat sekaligus memperkuat fondasi pengelolaan sampah berbasis warga di Kota Padang.

Target akhir program ini adalah menjangkau 20% masyarakat Kota Padang agar aktif memilah sampah dari rumah dan atau menjadi nasabah bank sampah. Saat ini, Pemerintah Kota Padang tengah menyusun regulasi untuk memastikan pengelolaan sampah berbasis masyarakat mendapatkan dukungan struktural yang kuat. Dengan adanya payung hukum yang jelas, diharapkan upaya ini dapat berjalan lebih terarah, berkelanjutan, dan didukung penuh oleh seluruh elemen masyarakat.

Dukungan Pemerintah dan Harapan Nol Sampah

Komitmen mewujudkan Padang sebagai kota nol sampah bukan hanya lahir dari inisiatif warga, tetapi juga mendapat dorongan kuat dari pemerintah. Salah satu lembaga yang berada di garis depan adalah Balai Penataan Bangunan, Prasarana, dan Kawasan (BPBPK) Sumatera Barat .

Kepala BPBPK Sumbar, Maria Doeni Isa, mengingatkan betapa seriusnya persoalan sampah di ibu kota provinsi ini. Menurut data, setiap harinya Padang menghasilkan rata-rata 643 ton sampah, di mana sekitar 467 ton masuk ke TPA, sementara 40 ton lainnya bahkan tidak terkelola sama sekali dan menumpuk di lingkungan sekitar, hanyut ke sungai, atau berakhir di laut.

“Kondisi ini harus menjadi perhatian bersama. Jika tidak ditangani, akan berdampak pada kesehatan masyarakat dan memperbesar risiko bencana banjir,” jelas Maria.

Festival Sebagai Gerakan Kolektif

Komitmen untuk terciptanya sistem pengelolaan sampah yang lebih baik di Kota Padang, diperkuat juga dengan ajang Mamilah Fest 2025 yang digelar di Taman Museum Adityawarman pada Sabtu (16/8/2025). Festival bertema “Padang Goes to Zero Waste” ini dikemas dalam konsep edutainment dengan menggabungkan hiburan dengan edukasi lingkungan.

Rangkaian acaranya meliputi pameran pengelolaan sampah berbasis masyarakat, talkshow inspiratif, penukaran sampah dengan sembako, hingga penandatanganan komitmen bersama berbagai pemangku kepentingan. Kehadiran ratusan warga, komunitas, dan pelaku usaha menunjukkan bahwa kesadaran kolektif mulai tumbuh.

Maria menekankan bahwa pola lama kumpul–angkut–buang tidak lagi relevan. Sistem konvensional itu tidak hanya membebani TPA, tetapi juga gagal menekan pencemaran lingkungan. “Harus ada inovasi dan partisipasi masyarakat. Tanggung jawab lingkungan ini kita pikul bersama,” tegasnya.

Harapan yang Tumbuh

Langkah-langkah awal yang kini diambil mulai dari edukasi warga di RW 02 Parupuk Tabing hingga festival bertema nol sampah, menjadi pondasi penting. Semua menunjukkan bahwa perubahan tidak bisa hanya datang dari satu sisi.

Masyarakat Padang kini diajak menyadari, sampah bukan sekadar urusan TPA, melainkan isu bersama yang menyangkut kualitas hidup, kesehatan, dan masa depan kota.(*)