Catatan: Revdi Iwan Syahputra
Tabola-Bale yang mengguncang Istana Merdeka pada perayaan HUT ke-80 RI bukan sekadar penutup acara. Lagu rancak yang memadukan dialek Indonesia Timur dengan bahasa Minangkabau, dinyanyikan Silet Open Up dan Diva Aurel, menjadi simbol politik kebudayaan. Presiden Prabowo Subianto berhasil menarik akulturasi ke ruang negara, menjadikannya bukan sekadar hiburan, melainkan pesan politik. Inilah seni yang masuk ke jantung kekuasaan.
Ingatan saya langsung terlempar pada perjalanan 17–19 Agustus 2019 lalu ke Wae Rebo. Bersama kawan-kawan—Firdaus Abi, Adrian Tuswandi, Nofal Wiska, Defri Mulyadi, Agusmardi—kami menempuh perjalanan panjang yang difasilitasi sahabat kami, Febby Dt Bangso. Dari Labuan Bajo menuju Lembor, kami singgah di pantai Nang Lili dan Pulau Molas, sebelum akhirnya tiba di Desa Denge, pintu masuk menuju negeri di atas awan.
Kami bermalam di rumah Blasius, seorang guru sekaligus tokoh adat yang ramah. Malam itu listrik padam tepat pukul 22.00, sinyal telepon nihil, hanya suara jangkrik menemani. Percakapan ringan mencairkan suasana. Adrian berkelakar soal istrinya yang tak bisa dihubungi karena ponselnya tak berguna. Tawa kami pecah, ditemani aroma kopi Arabika yang baru diseduh.
Keesokan harinya, perjalanan sesungguhnya dimulai. Jalan setapak menanjak dengan kemiringan tajam, licin karena sisa hujan malam sebelumnya. Kabut tebal menutup pandangan, membuat kami seakan masuk ke dunia lain. Sesekali suara burung dan gesekan dedaunan menjadi irama alam yang menuntun langkah. Nafas terengah, kaki gemetar, tapi ada energi aneh yang membuat kami terus mendaki. “Ini bukan sekadar jalan kaki, ini ziarah budaya,” batin saya.

Dan ketika kabut tersibak, tujuh rumah adat berbentuk kerucut—Mbaru Niang—tampak berdiri megah di lembah. Semua lelah sirna. Ada rasa haru, ada rasa pulang. Blasius kemudian bercerita bahwa leluhur Wae Rebo berasal dari Minangkabau, dipimpin oleh Empo Maro yang berlayar ribuan tahun lalu sebelum menetap di Flores. “Kita ini sebenarnya saudara,” ujarnya. Saya merinding mendengarnya.
Wae Rebo adalah bukti hidup bahwa akulturasi adalah DNA bangsa ini. Seperti Tabola-Bale yang memadukan Timur dan Minang di panggung Istana, Wae Rebo menunjukkan bahwa keberagaman bukan ancaman, melainkan kekuatan.
Dari perspektif sosiologi politik, langkah Presiden Prabowo menampilkan Tabola-Bale adalah upaya membangun legitimasi politik melalui simbol budaya. Ia memahami bahwa politik Indonesia pasca-reformasi kerap terjebak dalam sekat identitas, dari agama hingga etnisitas. Dalam ruang publik yang retak oleh polarisasi, simbol persatuan sulit ditemukan. Di titik inilah seni dan budaya menjadi strategi politik—lebih kuat dari jargon partai, lebih tulus dari pidato kampanye.
Tabola-Bale menghadirkan pesan: bangsa ini besar karena keberagaman yang tidak disembunyikan, tetapi dirayakan. Politik kebudayaan yang ditarik ke Istana adalah bentuk rekonsiliasi simbolik. Presiden Prabowo seakan berkata, “Kalau rakyat bisa menari bersama, maka elite pun seharusnya bisa duduk bersama.”
Namun, tentu kita perlu kritis. Politik akulturasi di Istana tidak boleh berhenti pada simbol. Ia harus mewujud dalam kebijakan: pendidikan yang menghargai keragaman lokal, pembangunan yang tidak menyingkirkan adat, serta distribusi ekonomi yang tidak memarjinalkan daerah pinggiran. Jika hanya berhenti di panggung, Tabola-Bale tak lebih dari kosmetik kekuasaan. Tapi jika dijadikan paradigma, ia bisa mengubah politik identitas menjadi politik peradaban.
Dari rumah adat di puncak Manggarai hingga Tabola-Bale di Istana, pesan itu sama: Indonesia adalah mosaik panjang perjumpaan budaya. Kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajahan, melainkan juga bebas dari politik yang membelah. Kini tinggal bagaimana Presiden Prabowo membuktikan bahwa simbol persatuan itu bukan sekadar tarian di hari kemerdekaan, tetapi arah politik bangsa lima tahun ke depan.(*)
#Penulis adalah Jurnalis Pemegang Kompetensi Utama, Pemred Rakyat Sumbar, dan mantan Pemred media arus utama di Sumatera Barat.