Oleh: Japridal, S.H.
Dalam dinamika kehidupan berorganisasi, khususnya di lingkungan organisasi kemasyarakatan (Ormas), pemilihan ketua menjadi momen strategis dan penting. Jabatan ketua bukan sekadar posisi simbolik, tapi perwujudan dari kehendak anggota yang harus dijalankan dengan prinsip keterbukaan, musyawarah, dan kepatuhan terhadap aturan main—utamanya Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi.
Musyawarah dan Pemilihan: Pilar Demokrasi Internal
Dalam banyak ormas yang sehat dan matang secara struktur, pemilihan ketua lazimnya dilakukan dengan dua pendekatan utama: musyawarah mufakat atau pemungutan suara. Musyawarah menekankan nilai-nilai kekeluargaan dan kehendak bersama. Jika tidak tercapai mufakat, maka jalan paling demokratis adalah pemungutan suara. Di sinilah suara terbanyak menjadi alat sah untuk menentukan siapa yang diberi mandat memimpin.
Namun, semuanya tetap mengacu kepada AD/ART. Jika dalam aturan tertulis sudah dijabarkan mekanisme, maka seluruh proses harus tunduk pada aturan tersebut. Proses yang sah akan melahirkan kepemimpinan yang kuat, mendapat kepercayaan luas, dan menjamin keberlangsungan organisasi.
Bahaya Pemilihan “Caplok” dan Tanpa Mekanisme
Sayangnya, dalam praktiknya, tak sedikit ormas yang mengabaikan mekanisme sah ini. Ada yang menunjuk ketua secara sepihak, ada pula yang menggunakan pendekatan “caplok” — mengambil alih kepemimpinan tanpa proses yang semestinya. Hal ini tidak hanya cacat prosedur, tetapi juga melanggar norma organisasi.
Implikasinya serius:
1. Tidak Legitim
Ketua yang terpilih tanpa mekanisme resmi sulit dianggap sah. Kepemimpinannya diragukan, bukan hanya oleh anggota, tapi juga oleh mitra eksternal. Kepercayaan publik terhadap ormas pun bisa menurun drastis.
2. Potensi Konflik dan Ketidakstabilan
Kepemimpinan yang tidak melalui proses terbuka dan legal berpotensi menimbulkan perpecahan. Ketidakpuasan anggota bisa berujung pada faksi-faksi, bahkan pembentukan ormas tandingan.
3. Mati Demokrasi Internal
Ketika pemilihan dilakukan tanpa mendengar suara anggota, maka yang terjadi adalah pembungkaman partisipasi. Padahal, kebebasan berpendapat dan hak untuk memilih adalah fondasi dasar dalam kehidupan organisasi yang sehat.
4. Pelanggaran AD/ART = Cacat Hukum
Pemilihan tanpa mengacu pada AD/ART adalah pelanggaran hukum internal organisasi. Di beberapa kasus, ini bahkan bisa berujung pada gugatan hukum atau pembekuan dari instansi pemerintah jika ormas tersebut terdaftar secara resmi.
Ketaatan pada Aturan adalah Cerminan Integritas
Jabatan bukan untuk diperebutkan secara licik atau ditunjuk seenaknya. Di ormas mana pun, ketua adalah pelayan anggota, bukan penguasa organisasi. Jika ingin dihormati dan diikuti, maka pemilihan haruslah mengikuti jalan yang benar—jalan yang dirancang oleh organisasi itu sendiri melalui AD/ART.
Pemilihan yang sah bukan hanya soal formalitas, tapi cermin dari integritas dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi. Jika proses disepelekan, maka jangan heran jika kepemimpinan hanya berumur pendek, dan ormas kehilangan arah. Mari kembali kepada musyawarah, suara mayoritas, dan aturan bersama. Itulah jalan terbaik menjaga ormas tetap kuat, bersatu, dan bermartabat.(*)
*Penulis adalah perantau Minang asal Pesisir Selatan dan juga Jurnalis berdomisili di Perawang, Riau