Oleh: Revdi Iwan Syahputra
Ketika ratusan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) angkat suara secara terbuka, negara harus berhenti dan mendengar. Ini bukan sekadar polemik teknis antara kampus dan kementerian. Ini soal arah masa depan pendidikan kedokteran, kompetensi dokter bangsa ini, dan nyawa pasien yang bergantung pada mutu layanan kesehatan.
Sinyal bahaya paling terang adalah langkah Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang mengalihkan wewenang kolegium—yang selama ini dijalankan organisasi profesi—ke dalam kendali kementerian. Langkah ini seperti memaksa kampus tunduk pada birokrasi dan membiarkan intervensi kekuasaan meracuni dunia akademik. Bila ini diteruskan, kita sedang menyaksikan politisasi pendidikan dalam bentuk paling telanjang.
Politik Kekuasaan vs Kepentingan Rakyat
Pemerintah berdalih ini semua demi efisiensi dan kepentingan masyarakat. Namun, mari kita jujur: di balik semua retorika itu, kebijakan ini mencerminkan kecenderungan populis yang berbahaya. Demi citra dan kepentingan jangka pendek, keselamatan pasien dan mutu dokter bisa dikorbankan. Kita melihat gejala khas dari politik kekuasaan: mengontrol sebanyak mungkin lembaga agar semuanya berada dalam komando. Padahal, independensi adalah kunci dalam dunia profesional, apalagi yang menyangkut kehidupan manusia.
Ketika pendidikan profesi diatur sepenuhnya oleh kekuasaan politik, maka yang lahir bukan dokter yang kritis dan berintegritas, melainkan teknisi medis yang siap patuh tapi rapuh secara etika dan keilmuan.
Pendidikan Kedokteran Bukan Pabrik Produksi Massal
Proses menjadi dokter bukan seperti mencetak kartu identitas. Ia adalah perjalanan panjang yang melibatkan pembentukan karakter, penguasaan ilmu, dan pengalaman klinis mendalam. Ini hanya bisa dicapai melalui integrasi yang ketat antara pengajaran, riset, dan pelayanan di rumah sakit pendidikan. Kebijakan Kemenkes yang melemahkan peran institusi pendidikan hanya akan menghasilkan lulusan serba tanggung—dan ini sangat berisiko dalam praktik medis.
Dunia pendidikan tidak bisa diposisikan sebagai ekor dari birokrasi pemerintah. Justru pendidikan harus menjadi pengarah, penentu arah kebijakan yang berpijak pada sains, etika, dan kebutuhan riil di lapangan. Ketika guru besar FKUI mengingatkan agar pendidikan kedokteran tidak dikorbankan demi target politik jangka pendek, mereka sedang memperingatkan bahwa kualitas dokter Indonesia bukan alat politik, melainkan penentu masa depan bangsa.
Merusak Kepercayaan Publik
Poin lain yang patut digarisbawahi adalah adanya upaya sistematis menciptakan framing buruk terhadap profesi dokter. Tuduhan bahwa dokter tidak berpihak pada rakyat atau hanya mementingkan kepentingan korporat hanyalah narasi destruktif yang menggerogoti kepercayaan publik. Jika kepercayaan ini hilang, pasien tidak hanya akan meragukan dokter, tapi juga akan mencari layanan ke luar negeri. Siapa yang diuntungkan?
Dokter bukan malaikat, tapi mereka bukan musuh rakyat. Mereka adalah pilar utama sistem kesehatan. Merusak reputasi mereka demi pembenaran kebijakan politik adalah pengkhianatan terhadap akal sehat.
Kolegium Harus Tetap Independen
Kolegium profesi kedokteran harus tetap independen. Ia bukan pelengkap struktur kementerian, melainkan penjaga mutu dan etika. Kolegium bertugas memastikan bahwa dokter yang lahir dari sistem pendidikan kita memiliki kompetensi yang diakui secara global dan sesuai dengan kebutuhan layanan kesehatan nasional. Menggerus peran kolegium hanya akan mengaburkan batas antara profesionalisme dan kepentingan kekuasaan.
Saatnya Pemerintah Berani Mendengar
Dalam masyarakat demokratis, kritik bukan ancaman. Kritik adalah cermin. Pemerintah harus belajar membedakan antara kontrol dan kolaborasi. Dunia akademik dan organisasi profesi bukan musuh, tapi mitra yang bisa menjaga agar kebijakan tetap waras dan tidak semata digerakkan oleh ambisi sesaat.
Jika guru besar pun tidak didengar, maka negeri ini sedang membangun kebijakan dengan telinga yang tuli dan hati yang beku.(*)
Penulis adalah Jurnalis Pemegang Kompetensi Utama, pernah Pemred di beberapa media Cetak dan digital.