Oleh : Salwa Hanifah
Mahasiswa Prodi Ilmu Politik FISIP Unand
Dibalik cita-cita luhur menjadikan hukum sebagai penjaga keadilan dan pelindung hak setiap warga negara, sistem hukum Indonesia hari ini dihadapkan pada berbagai ujian berat.
Seiring berjalannya waktu, harapan akan tegaknya supremasi hukum seakan mulai pudar, tergantikan oleh realita pahit yang menghantui masyarakat dari berbagai lapisan.
Ketimpangan akses keadilan dan korupsi yang mengakar. Ketimpangan akses yang diterima rakyat pada saat ini dalam mencari keadilan menjadi suatu hal yang harus diperhatikan.
Dimana keadilan saat ini terkesan hanya didapatkan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan saja. Serta korupsi yang tidak ditemukan solusi dalam penanganannya membuat korupsi indonesia menjadi mengakar dan susah diatasi.
Bayangkan, seorang ibu di pelosok desa yang harus menempuh perjalanan berjam-jam hanya untuk mencari keadilan bagi anaknya yang menjadi korban kekerasan. Atau seorang buruh yang harus menyerah karena tak sanggup membayar jasa hukum yang mahal. Ini bukan fiksi.
Ketimpangan akses terhadap keadilan adalah kenyataan yang masih kita hadapi. Biaya tinggi, keterbatasan informasi, hingga jarak geografis menjadi penghalang nyata bagi masyarakat kecil untuk mendapatkan perlindungan hukum yang layak.
Sementara di sisi lain, korupsi yang merajalela dalam institusi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan memperburuk keadaan.
Ketika hukum bisa dibeli dan keadilan bisa ditukar dengan amplop tebal, maka rasa percaya masyarakat pun terkikis sedikit demi sedikit. Bagaimana rakyat bisa berharap pada hukum, jika mereka justru menjadi korban dari sistem yang seharusnya melindungi?
Intervensi politik dalam proses legislasi di indonesia sering kali dipengaruhi oleh kepentingan elit yang dimana dalam hal tersebut tak bisa dipungkiri, pembentukan hukum di negeri ini kerap kali sarat akan kepentingan politik.
Undang-undang yang dihasilkan sering kali lebih mengakomodasi suara segelintir elit, ketimbang memperjuangkan aspirasi masyarakat luas. Akibatnya, hukum berubah menjadi alat kekuasaan, bukan lagi pelindung hak dan keadilan. Ini bukan hanya masalah teknis, tapi juga persoalan moral dan integritas.
Hukum adat dan nasional hal ini adalah dua hal yang masihbertolak belakan dikarenakan Indonesia merupakan negeri yang kaya akan budaya dan tradisi. Namun sayangnya, keberagaman ini belum sepenuhnya terakomodasi dalam sistem hukum nasional.
Sering kali, hukum adat yang hidup dan dipegang teguh oleh masyarakat lokal berbenturan dengan regulasi negara. Konflik hukum pun tak terhindarkan, terutama dalam sengketa tanah adat yang kerap berujung pada ketidakadilan bagi masyarakat asli yang sering kali merasakan kerugian dalam proses hukumnya. Dikarenakan tanah adat yang tidak memiliki surat kepemilikan yang pasti sesuai ketentuan hukum di indonesia.
Krisis dalam dunia peradilan hal ini selalu menjadi konfik yang tidak dapat dihindarkan, dikarenakan sistem hukum di indonesia yang selalu berubah setiap bergantian penguasa yanag dimana hal tersebut saat dapat dilihat dari perubahan status hakim dari PNS menjadi pejabat negara semestinya membawa angin segar.
Tapi dalam praktiknya, minimnya pengaturan soal rekrutmen dan pembinaan justru menciptakan stagnasi.
Banyak posisi hakim kosong, pelayanan hukum tersendat, dan masyarakat kembali menjadi pihak yang dirugikan. Tanpa jaminan ketersediaan hakim yang profesional dan independen, peradilan kita kehilangan nyawanya.
Di mana dalam hal ini rakyat diharapkan selalu memiliki semangat dalam menjalankan sistem hukum yang ada di indonesia.Meski gelap, harapan tak boleh padam. Reformasi hukum bukan sekadar wacana, melainkan kebutuhan yang mendesak.
Beberapa langkah nyata yang bisa menjadi pijakan awal antara lain, memastikan akses hukum yang merata dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Membersihkan institusi penegak hukum dari praktik korupsi melalui sistem pengawasan yang kuat dan independen.
Menjauhkan kepentingan politik dari ruang-ruang legislasi agar hukum kembali menjadi milik rakyat, bukan elit. Mengharmoniskan hukum adat dengan hukum nasional, agar keadilan tidak kehilangan konteks budaya. Membangun sistem peradilan yang solid dengan rekrutmen hakim yang transparan dan berbasis kompetensi.
Sistem hukum yang adil, bersih, dan berpihak pada rakyat bukan mimpi yang mustahil. Dengan niat tulus, kerja keras bersama, dan komitmen dari semua pihak, Indonesia bisa membangun kembali fondasi keadilan yang selama ini kita dambakan.
Karena pada akhirnya, hukum bukan soal hitam-putih aturan, tapi tentang bagaimana kita memperlakukan satu sama lain dengan adil dan manusiawi. Hanya dengan langkah-langkah konkret dan komitmen bersama, Indonesia dapat mewujudkan sistem hukum yang adil, transparan, dan berpihak pada rakyat.
Mari kita wujudkan sistem huku indonesia yang stransparan dan dapat dipercaya bagi seluruh rakyat dan lapisan masyarakat. (*)