OPINI  

Aqua Dwipayana: Air yang Menghidupi, Bukan Sekadar Mengalir

Oleh: Revdi Iwan Syahputra

Pagi itu, kabut di lereng Gunung Marapi turun perlahan seperti tirai sutra yang ditarik ke bawah. Dalam keheningan itu, aku duduk di beranda, secangkir kopi hitam di tangan, memandang jauh ke arah langit yang mengabur. Di antara aroma tanah basah dan desir angin yang menyentuh pucuk-pucuk pinus, pikiranku melayang pada satu nama: Aqua Dwipayana.

Bagi sebagian orang, nama itu mungkin mengingatkan pada seminar komunikasi populer, motivasi korporat, atau buku-buku best seller tentang seni berbicara. Namun bagiku, seorang jurnalis yang hampir separuh hidupnya mengarungi dunia media, Aqua Dwipayana bukan sekadar tokoh publik; ia adalah filosofi hidup tentang bagaimana manusia seharusnya hadir bagi sesama.

Mengalir Seperti Air, Memberi Tanpa Batas

Aku mengenal Aqua bukan dari panggung-panggung megah atau headline berita. Aku mengenalnya lewat cerita-cerita kecil — kadang hanya sepenggal, kadang nyaris tak terdengar — tentang bagaimana ia dengan sunyi membantu sesama, menguatkan yang lemah, menyemangati yang hampir menyerah.

Dalam dunia jurnalistik yang penuh dengan hiruk pikuk ego dan ambisi, bertemu sosok seperti Aqua adalah kemewahan tersendiri. Ia tidak berdiri di atas mimbar untuk menggurui. Ia tidak mengibarkan namanya dalam setiap aksi kebaikan. Seperti air, ia mengalir — menyentuh akar-akar kehidupan, menghidupi, namun nyaris tanpa suara.

Satu prinsip hidup yang kulihat nyata pada dirinya adalah keyakinan bahwa memberi itu adalah hakikat manusia. Bahwa tangan yang memberi seharusnya tidak mengingat, dan tangan yang menerima seharusnya tidak merasa berutang. Filosofi ini, dalam dunia yang serba transaksional hari ini, terdengar hampir utopis. Tetapi Aqua membuktikannya, hari demi hari, langkah demi langkah.

Belajar dari Aqua: Komunikasi yang Membumi

Sebagai pemegang Kompetensi Utama di dunia pers, aku paham benar bahwa komunikasi bukan sekadar permainan kata atau olah suara. Komunikasi yang sejati adalah tentang membangun kepercayaan, tentang menyentuh rasa, tentang menyampaikan kehadiran.

Aqua tidak mengajarkan ini lewat teori rumit. Ia memperlihatkannya lewat tindakan sederhana: menyapa orang kecil dengan hormat, mendengarkan cerita dengan penuh perhatian, menolong tanpa mengungkit. Setiap gesturnya adalah kuliah berjalan tentang kemanusiaan dalam komunikasi.

Bagi Aqua, berbicara adalah soal hati, bukan hanya soal mulut. Ia mengajarkan bahwa di balik setiap kalimat, harus ada niat baik. Di balik setiap diskusi, harus ada penghormatan terhadap martabat manusia. Dan di balik setiap jaringan pertemanan, harus ada ketulusan, bukan kepentingan.

Dari prinsip itu, aku banyak belajar. Sebagai mantan Pemimpin Redaksi di beberapa media cetak dan online, dan kini mengemban amanah sebagai Pemimpin Redaksi Rakyat Sumbar, aku tahu betapa mudahnya orang tergoda untuk menggunakan komunikasi sebagai alat kekuasaan, bukan sebagai jembatan kasih sayang. Aqua mengingatkan — lewat sikap, bukan ceramah — bahwa komunikasi sejati adalah seni membangun, bukan menghancurkan.

Kesunyian yang Berbuah Kebaikan

Dalam banyak kesempatan, Aqua lebih memilih berada di balik layar. Ia membiarkan karya dan pengaruhnya berbicara tanpa perlu menonjolkan dirinya. Ia tidak mengejar spotlight, tetapi justru sering menjadi sumber cahaya bagi orang-orang yang tersesat dalam kegelapan.

Aku pernah mendengar bagaimana, diam-diam, Aqua membantu seorang jurnalis muda yang nyaris menyerah karena tekanan ekonomi dan psikologis. Tanpa publisitas, tanpa sorotan media, ia hadir. Bukan sebagai dewa penolong, tetapi sebagai sesama manusia yang tahu betul betapa mahalnya harapan di tengah putus asa.

Bagi banyak orang yang pernah disentuhnya — langsung maupun tidak — Aqua adalah oase di tengah gurun ketidakpedulian. Ia adalah bukti hidup bahwa dunia ini belum sepenuhnya kehilangan orang-orang yang memilih menjadi “air” bagi sesamanya: menghidupi tanpa menuntut balas.

Aqua, dan Dunia yang Terus Membutuhkan “Air”

Di era sekarang, di mana kecepatan dan eksistensi kerap mengalahkan keikhlasan, sosok seperti Aqua Dwipayana adalah langka. Ia tidak hanya bicara tentang perubahan; ia adalah perubahan itu sendiri. Ia tidak hanya mengajak orang berbuat baik; ia memperlihatkan bagaimana kebaikan itu bisa dijalani dalam keheningan.

Sebagai jurnalis yang masih percaya pada kekuatan kata-kata, aku merasa terhormat pernah menyaksikan langsung perjalanan hidup seseorang yang memilih mengalir — tanpa pamrih, tanpa henti. Dan aku percaya, selama masih ada orang seperti Aqua, dunia ini akan tetap punya alasan untuk berharap.

Aqua Dwipayana, dalam mataku, dalam hatiku, adalah air kehidupan. Jernih, tenang, namun penuh daya untuk menghidupi dunia yang kehausan akan ketulusan.(*)

Penulis adalah Jurnalis Pemegang Kompetensi Utama; pernah menjadi Pemimpin Redaksi di beberapa media cetak dan online; kini mengemban amanah sebagai Pemimpin Redaksi Rakyat Sumbar.