Soal Ini PKS Jangan Ditiru!
Oleh Miko Kamal
Advokat dan Ketua DPC Peradi Padang
Tulisan ini tentang salah satu topik bincang-bincang ringan saya dengan Marfendi yang sering saya panggil ustadz. Kadang juga saya memanggilnya Pak Wawa. Sekarang, karena beliau sedang mencalonkan diri sebagai Walikota Bukittinggi, saya memanggilnya Pak Wali.
Sudah lama kami tidak bertemu. Terakhir kami jumpa di masa Covid sedang melanda. Pada sebuah diskusi, di Permindo Padang.
Sabtu 7 September 2024, di pagi yang sejuk, kami bertemu lagi, di Bukittinggi.
Kami bercerita banyak hal, pagi itu. Mulai dari soal “kisruh” dirinya dengan partai yang selama ini ikut beliau besarkan yang juga membesarkannya, soal pencalonannya sebagai calon Walikota Bukittinggi yang mendaftar di detik-detik terakhir, sampai soal pengalaman kepemimpinan (sebagai Wakil Walikota) yang dijalaninya sekitar 4 tahun terakhir di Bukittinggi.
Yang saya bahas sekarang adalah topik terakhir: kepemimpinan. Dua lainnya, nanti saja.
Menurut beliau, kepemimpinan itu mestinya berkelanjutan. Tidak seperti sekarang. Saya setuju. Pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin formal, seperti paket gubernur bupati dan walikota.
Sederhananya begini: kepala daerah dan wakilnya adalah paket utuh yang wajib saling dukung mendukung dalam menggerakkan roda kepemerintahan, dan wakil adalah pelanjut kepemimpinan yang ditinggal gubernur/bupati/walikota karena masa jabatan berakhir.
Yang terjadi selama ini tidak begitu. Banyak kepala daerah dan wakilnya hanya bertahan kurang dari seumur jagung. Sebulan 3 bulan saja baiknya. Setelah itu, mereka saling memunggungi.
Ceritanya, Marfendi mengalami itu. Tidak lama setelah dilantik jadi Wakil Walikota Bukittinggi, dirinya tidak dapat peran. Tepatnya, tidak diberi peran. Hilir mudik saja dia lagi tanpa tahu apa yang akan dikerjakan. Padahal jabatan Wakil Walikota itu harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat yang memberinya gaji, aneka tunjangan dan segenap fasilitas lainnya saban bulan.
Hal serupa memang bukan terjadi di kota Bukittinggi saja. Di kabupaten Solok, Pesisir Selatan, Agam, 50 Kota, Tanah Datar dan di beberapa daerah lainnya juga terjadi.
Pengalaman Marfendi di Bukittinggi dan pasangan kepala daerah lainnya seharusnya tidak boleh terjadi. Ini pengkhianatan terhadap rakyat yang sudah memberikan mandat kepada pasangan kepala daerah. Ingat, mandat diberikan kepada pasangan. Bukan kepada salah seorang dari mereka.
Pagi itu, saya dan Marfendi sepakat: kepala daerah dan wakilnya adalah paket kepemimpinan berkelanjutan. Misalnya, bila nanti pasangan Marfendi dan Fauzan Haviz terpilih jadi Walikota dan Wakil Walikota Bukittinggi, periode selanjutnya atau 2 periode selanjutnya (sesuai kesepakatan mereka berdua) Fauzan yang akan menggantikan atau melanjutkan pertarungan perebutan jabatan Walikota Bukittinggi.
Di Pilkada Provinsi mestinya juga begitu. Jika 27 November nanti pasangan Epyardi Asda dan Ekos Albar yang terpilih jadi Gubernur dan Wakil Gubernur, maka Ekos berhak maju sebagai calon Gubernur setelahnya. Mau pergantiannya dalam 1 atau 2 periode, terserah kepada mereka berdua.
Hal yang sama juga berlaku untuk pasangan Mahyeldi dan Vasko. Mereka berdua dan/atau partai pengusung (terutama PKS dan Gerindra) harus bersepakat: nanti setelah 5 tahun selesai, Vasko dianjungkan bersama jadi Gubernur selanjutnya.
Keberlanjutan kepemimpinan penting untuk keberlanjutan pembangunan dalam segala bidang. Dengan begitu, hak-hak rakyat akan dapat dipenuhi maksimal.
Apakah, maksudnya, tidak boleh ada penantang dalam kontestasi pemilihan kepala daerah? Boleh, bahkan sangat boleh. Penantang diberikan kesempatan seluas-luasnya menawarkan ide-ide perubahan yang berbeda dengan petahana. Jika penantang berhasil mengalahkan petahana, pasangan penantang yang menang mesti juga melanjutkan konsep keberlanjutan kepemimpinan.
*Jangan Ditiru*
Keberlanjutan kepemimpinan belum jadi tradisi dalam kontestasi Pilkada kita. Banyak sekali contohnya. Perhatikanlah baik-baik apa yang terjadi dalam Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat lebih kurang 15 tahun terakhir. Pilkada yang selalu dimenangi pasangan yang diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Periode 2010-2015 kader PKS Irwan Prayitno berpasangan dengan Muslim Kasim. Mereka menang. Di periode selanjutnya (2016-2021), Irwan Prayitno meninggalkan Muslim Kasim dan lebih memilih Nasrul Abit. Menang lagi.
Di Pilkada 2021, PKS tidak menyerahkan jatah Gubernur kepada Nasrul Abit, tapi mengusung kadernya yang lain, Mahyeldi, berpasangan dengan Audy menantang Nasrul Abit. PKS menang untuk ketiga kalinya.
Terbaru, kepemimpinan Mahyeldi dan Audy juga tidak berlanjut. Audy diturunkan di pinggir jalan. PKS memilih Vasko Ruseimy sebagai pasangan baru.
PKS salah? Secara hukum tidak. Tapi kurang elok saja, di samping mengganggu keberlanjutan kepemimpinan: rakyat kehilangan hak menikmati janji yang pernah diucapkan pasangan sebelumnya padahal mereka masih punya kesempatan menunaikannya bersama-sama.
Mencermati “tradisi” politik Pilkada PKS di Sumbar, Vasko tidak akan jadi calon Gubernur bersama calon PKS di Pilkada yang akan datang. Justeru PKS akan mencarikan lawan tanding baru yang sepadan untuk mengalahkan Vasko.
Jangan ditirulah yang ini. Apapun bangunan argumennya, pasti sangat sulit merealisasikan semua janji Mahyeldi-Vasko hanya dalam 5 tahun. Kepemimpinan berkelanjutan adalah jawabannya.
Terakhir, tulisan ini tidak bermaksud mengenerealisir semua yang dilakukan PKS tidak boleh ditiru. Banyak kok yang bisa ditiru. Tapi yang satu ini (gonta ganti pasangan setiap Pilkada dan/atau kepemimpinan yang tidak berkelanjutan) jangan ditiru. (*)