Gubernur yang Menyelesaikan Proyek-proyek Mangkrak
Oleh Miko Kamal
Advokat dan Ketua DPC Peradi Padang
Banyak proyek mangkrak di Sumbar. Sebut saja Gedung Kebudayaan Sumatera Barat, Stadion Utama (Main Stadium), jalan Pantai Padang ke BIM dan Asrama Haji Sumatera Barat. Yang lain mungkin masih ada lagi, hanya tidak terpantau publik saja.
Proyek mangkrak sangat merugikan rakyat. Betapa tidak, uang rakyat sudah tersedot banyak, tapi manfaatnya tidak ada atau tidak maksimal.
Proyek mangkrak sering dijadikan komoditas politik. Menjelang Pilkada, biasanya, petahana merosok-rosok agak sedikit proyek mangkrak itu. Sekadar memberi kode bahwa beliau akan menuntaskan proyek mangkrak itu bila dipilih kembali.
Misalnya, mengundang wartawan menyaksikan petugas ukur dari Dinas Bina Marga Cipta Karya dan Tata Ruang mengukur-ukur proyek mangkrak itu. Setelah terpilih, proyeknya mangkrak lagi.
Proyek mangkrak tentu tidak hanya ada tingkat Provinsi. Di kabupaten dan kota tentu juga ada. Datanya saja yang kita belum dapat karena tidak jadi sorotan wartawan, pegiat media sosial atau pegiat anti-korupsi dan/atau transparansi publik.
Setidaknya ada tiga penyebab proyek mangkrak. Pertama, perencanaannya tidak matang. Merencanakan sebuah proyek tentu mesti diikuti dengan proyeksi dana yang tersedia. Bila proyek direncanakan tanpa ada proyeksi pembiayaan yang jelas, itu mirip-mirip dengan ceritera novel “Katak Hendak Jadi Lembu” karangan Nur Sutan Iskandar. Dalam novel itu diceritakan: tokoh bernama Suria yang berpenghasilan sedikit (tidak punya uang yang cukup) merencanakan atau melakukan pengeluaran yang banyak. Ujung ceritanya, karena perangainya, Suria hidup terlunta-lunta dalam keadaan senewen atau sakit jiwa.
Kedua, proyeksi pendanaan proyek ada, tapi tidak bisa dieksekusi. Kita semua paham, daerah tidak akan sanggup membiayai sendiri proyek-proyek besar di daerah. Bantuan atau intervensi Pemerintah Pusat melalui APBN adalah jalan keluarnya. Pendanaan dari sumber lainnya juga bisa. Itu sudah direncanakan dengan cukup baik. Hanya saja kemampuan mengeksekusi yang tidak ada.
Penyebab yang terakhir adalah korupsi proyek. Tidak jarang proyek mangkrak karena kasus korupsi yang membelit orang-orang terkait proyek. Gedung Kebudayaan Sumbar adalah salah satu contohnya. Sampai sekarang, proyek itu belum bisa diapa-apakan atau terus mangkrak karena kasusnya belum lagi tuntas.
Terlepas dari apapun penyebabnya, ke depan masyarakat berhak mendapatkan Gubernur yang bisa menjamin di masa kepemerintahannya kelak tidak ada lagi proyek mangkrak. Terutama proyek-proyek yang langsung berada di bawah kewenangannya.
Terkait perencanaan proyek, Gubernur harus memegang kendalinya agar cerita serupa “Katak Hendak Jadi Lembu” tidak terjadi. Gubernur juga harus dapat memastikan bahwa dana-dana pusat dan sumber lainnya untuk pembangunan daerah dapat dieksekusi dengan baik.
Satu lagi, Gubernur mesti menjamin bahwa tidak ada korupsi selama pemerintahannya. Apapun ceritanya, penanggung jawab utama dalam pelaksanaan pemerintah yang bersih dan bebas dari korupsi, termasuk juga kolusi dan nepotisme, adalah Gubernur sebagai kepala daerah.
Semoga Allah izinkan rakyat Sumbar mendapatkan Gubernur dan Wakil Gubernur yang mampu menyelesaikan proyek-proyek mangkrak demi kemaslahatan bersama. (*)