rakyatsumbar.id

Berita Sumbar Terkini

Beranda » Tungku Tigo Sajarangan Belum Menyikapi Keresahan Masyarakat

Tungku Tigo Sajarangan Belum Menyikapi Keresahan Masyarakat

Pertemuan Yayasan SAKO dengan sejumlah komponen membahas keresahan terkini yang terjadi di Sumatera Barat.

Padang, rakyatsumbar.id – Pucuk pimpinan masyarakat Minangkabau, tunggu tigo sajarangan belum menunjukkan representasi kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat, termasuk dalam upaya menyikapi kondisi kekinian.

“Saat ini, setidaknya ada tiga keresahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.”

“Keresahan itu harus disikapi secepatnya,” kata Januarisdi, Dewan Pembina Yayasan SAKO, di Padang, Selasa (18/9/2022).

Ketiga keresahan tersebut, ia katakan dalam pertemuan Yayasan SAKO dengan sejumlah komponen.

Hadir saat itu Ketua MUI Sumbar, Bakor KAN Sumbar, FKDM Sumbar dan KS Meja Putih, di kafe Sekretariat SAKO, Tanjuang Aua, Balai Gadang, Koto Tangah, Padang.

Tiga keresahan yang membalut itu, UU Sumbar, Perpaniangan HGU, Pemberian gelar adat.

Banyak pucuk adat tidak lagi menampakkan keberadaannya sebagai leader di tangah kaumnya.

Akan tetapi sudah berubah fungsi sebagai dealer kepentingan pemodal.

LKAAM yang dipersepsikan banyak kalangan, sebagai representasi Minangkabau, telah memberikan gelar kepada yang bukan haknya.

Demikian pula halnya dengan kaum cendikia, lebih banyak diam, seperti dalam menyikapi tuduhan teroris yang disematkan kepada Sumatera Barat.

Melihat kondisi ini, selayaknya unsur terkait berbenah, bagaimana mengembalikan fungsi dan peran tigo tungku sajarangan itu kepada sebagaimana mestinya.

Satu tuntutan yang diharapkan masyarakat, agar pemberian gelar adat yang telah terjadi itu dapat ditarik kembali oleh si pemberi.

Prof Yulizal Yunus dan Zaitul Ikhlas, keduanya dari Bakor KAN Sumbar menyebutkan, jika kondisi ini dibiarkan, maka keuatiran yang sejak lama ada, bukan tidak mungkin akan terjadi.

Di sisi lain, Ketua MUI Sumbar Gusrizal Gazahar merespon keresahan tersebut. Katanya, jika tidak didudukkan pada tempat masing-masing, maka kondisi ke depan akan semakin memburuk.

Selain itu, satu sama lain harus saling menghargai.

Ia memberikan ilustrasi, misalnya ketika pengukuhan gala kepada seorang pejabat di Sumbar, beberapa bulan lalu.

Kemudian belakangan pejabat tersebut tersandung masalah. Ditangkap dengan tuduhan menjual sabu.

“Bukannya MUI mengelak, tapi sejak awal MUI tidak ikut serta karena tak ada alasan yang tepat kalau beliau tersebut layak untuk mendapatkan gelar tersebut,” kata Gusrizal Gazahar. (edg)

About Post Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *