Catatan: Revdi Iwan Syahputra
Ketika dua kubu alumni Universitas Andalas (Unand) bersitegang soal jadwal kongres — satu ingin digelar 15–16 November, satu lagi 6 Desember — banyak yang melihatnya sekadar perbedaan teknis. Namun sesungguhnya, pertarungan ini menyentuh hal yang jauh lebih dalam: legitimasi, simbol, dan kekuasaan di tubuh Ikatan Alumni Universitas Andalas (IKA Unand).
Setelah melalui rapat marathon melibatkan Gubernur Sumbar Mahyeldi Ansharullah, Rektor Unand Efa Yonnedi, empat mantan rektor, serta Dewan Pembina, akhirnya disepakati bahwa Kongres VII IKA Unand akan digelar pada 29 November 2025. Sebuah keputusan kompromi yang memadukan dua kutub dan membuka jalan baru menuju rekonsiliasi.
“Alhamdulillah, kita bersama-sama menyepakati Kongres VII IKA Unand tanggal 29 November. Ayo kita dukung kesuksesan kongres ini,” ujar Mahyeldi dalam pertemuan yang berlangsung hangat dan sarat makna.
Gubernur menegaskan, perbedaan yang sempat mencuat harus segera diakhiri. “Tidak ada satu pun di antara kita yang tidak punya niat baik. Tujuannya sama — untuk kejayaan bangsa dan Unand yang lebih baik. Jangan sampai perbedaan kecil menghilangkan semangat besar kita untuk bersatu,” katanya.
Rektor Efa Yonnedi menambahkan, semua pihak di lingkungan Unand, baik dosen maupun alumni, memiliki tanggung jawab moral menjaga reputasi universitas. “Energi dan waktu jangan dihabiskan untuk konflik yang tidak produktif. Saatnya satu IKA, satu kongres, satu tujuan,” tegasnya.
Ketua Dewan Pembina Prof Delfitri menyebut, pertemuan tersebut menghasilkan kemajuan signifikan. Kedua pihak sepakat menyesuaikan jadwal dan membentuk kepanitiaan bersama. Sementara Prof Fasli Jalal menyebut langkah rekonsiliasi ini sebagai bukti kedewasaan intelektual alumni Unand. “Kalau dua pihak ini bisa duduk bersama, itu sudah lompatan besar,” ujarnya.
Anggota DPRD Sumbar Hidayat (Gerindra) menegaskan, jadwal pelaksanaan sudah disepakati 29 November. “Teknis kepanitiaan gabungan memang belum final, tapi kegiatan tetap jalan sesuai SK DPP yang masih berlaku sebelum demisioner,” katanya.
Pertarungan Legitimasi dan Kekuasaan
Secara politis, fenomena dua kubu ini bisa dibaca melalui teori konflik (Lewis Coser, Ralf Dahrendorf). Konflik adalah bagian wajar dari organisasi sosial — muncul ketika ada perbedaan kepentingan dan tafsir legitimasi. Dalam konteks IKA Unand, pertarungan tanggal hanyalah simbol dari perebutan kendali arah organisasi dan sumber legitimasi sosial.
Masing-masing kubu merasa memiliki dasar yang sah. Kubu 15–16 November mungkin berpegang pada legitimasi rasional-legal (berdasar AD/ART dan SK DPP lama), sementara kubu 6 Desember membawa legitimasi moral dan aspiratif, dengan semangat memperluas partisipasi alumni.
Di sinilah teori Max Weber menjadi relevan: setiap kekuasaan bertumpu pada tiga sumber legitimasi — tradisional, rasional-legal, dan kharismatik. Ketika dua sumber pertama berbenturan, peran figur kharismatik seperti Gubernur Mahyeldi dan Rektor Efa menjadi penyeimbang moral yang mampu menurunkan tensi dan membangun kepercayaan baru.
Menurut Antonio Gramsci, kekuasaan tidak hanya didapat lewat dominasi, tetapi juga lewat penciptaan hegemoni moral dan kultural. Langkah Gubernur dan Rektor dalam mendorong satu tanggal kompromi merupakan bentuk politik hegemoni baru — menggantikan narasi “kubu A vs kubu B” dengan narasi yang lebih besar: persatuan alumni untuk kejayaan bangsa.
Dengan mengubah medan konflik menjadi ruang konsensus, mereka berhasil menciptakan arah baru: bukan lagi siapa yang menang, tetapi bagaimana semua pihak merasa ikut memiliki.
Politik Deliberatif dan Jalan Tengah
Dari kacamata teori diskursus Jürgen Habermas, kesepakatan 29 November adalah bentuk politik deliberatif — keputusan yang lahir dari komunikasi rasional, bukan dominasi. Dalam forum yang terbuka dan setara, para pihak menemukan titik temu. Ini adalah puncak dari komunikasi politik yang sehat di ruang publik akademik.
Langkah ini menunjukkan bahwa dalam organisasi berbasis intelektual seperti IKA Unand, rasionalitas dan musyawarah masih menjadi dasar moral yang hidup.
Arah Baru Alumni Unand
Dengan jadwal 29 November disepakati, kini tantangan berikutnya adalah memastikan kongres berlangsung bermartabat, inklusif, dan visioner. Rekonsiliasi bukan sekadar duduk bersama, tetapi membangun kepercayaan dan visi baru tentang peran alumni dalam membangun bangsa.
IKA Unand semestinya menjadi model politik kebersamaan akademik, bukan cermin politik praktis. Jika momentum ini dikelola dengan bijak, Kongres VII bisa menjadi titik balik menuju organisasi alumni yang solid, kredibel, dan berdampak nasional.
Seperti kata Gubernur Mahyeldi, “Kalau kita bersatu, semua potensi bisa menjadi kekuatan.”
Dan mungkin, dari kampus di kaki Gunung Padang itu, lahirlah satu pelajaran politik yang mahal: bahwa rekonsiliasi adalah puncak tertinggi dari kecerdasan intelektual.(*)
#Penulis adalah Wakil Ketua IKA Sosiologi Unand, Pengurus IKA FISIP, Pemred Harian Rakyat Sumbar, pernah Pemred di Sejumlah Media Mainstream dan Online.

