JAKARTA, Rakyat Sumbar — Pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat kembali menjadi sorotan. Angkanya terus tertinggal dibandingkan rata-rata nasional dan bahkan menjadi yang terendah di Pulau Sumatra.
“Beberapa tahun terakhir, termasuk tahun ini, kinerja ekonomi Sumbar semakin melemah. Di triwulan II tahun 2025, pertumbuhan ekonomi (PE) Sumbar hanya 3,94 persen — terbawah di Sumatra dan hanya lebih tinggi dari empat provinsi di Papua,” ungkap Ricky Donals, pengamat ekonomi yang juga ninik mamak Tanjung Alam, Tanah Datar, kepada wartawan di Jakarta, Minggu (26/10/2025).
Padahal, lanjutnya, Sumbar memiliki potensi besar dengan kekayaan komoditas melimpah. Namun sayangnya, potensi itu tak diikuti oleh integrasi kebijakan dan investasi produktif.
“Sumatera Barat tidak kekurangan sumber daya. Tapi, tanpa kebijakan yang terarah dan kepemimpinan daerah yang kuat, potensi itu tidak akan pernah menjadi kekuatan ekonomi riil,” tegas Ricky.
Menurutnya, benang merah dari lemahnya ekonomi Sumbar justru terletak pada figur pemimpin daerah — baik gubernur, bupati, maupun wali kota.
“Sebesar apa pun potensi yang ada, kalau pemimpin tidak ‘powerful’ dalam menggerakkan ekonomi, jangan harap angka pertumbuhan bisa maksimal,” ujarnya.
Butuh Kepemimpinan Visioner dan Sinergi Daerah
Ricky menilai solusi utama adalah memperkuat kepemimpinan visioner serta meningkatkan koordinasi antar kabupaten dan kota.
“Gubernur harus mampu menjadi motor penggerak ekonomi baru untuk Sumatera bagian tengah,” katanya.
Ia juga memaparkan sejumlah data ekonomi Sumbar: pertumbuhan ekonomi tahun 2024 sebesar 4,2 persen (nasional 5,1 persen), inflasi 4,1 persen (nasional 2,8 persen), dengan sektor utama pertanian (22%), perdagangan (17%), dan konstruksi (14%). Ketergantungan ekonomi masih tinggi pada konsumsi dan sektor primer.
“Inflasi tinggi dan pertumbuhan rendah disebabkan ekonomi yang belum terdiversifikasi, serta biaya logistik mahal karena akses tol terbatas dan pelabuhan yang belum optimal untuk ekspor,” jelasnya.
Contohnya, komoditas ekspor unggulan seperti pinang dan gambir dari Sumbar harus dikirim melalui Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara, sehingga menambah ongkos logistik.
Masalah Klasik: Tanah Ulayat, Perizinan, dan Pariwisata Lesu
Selain itu, investasi di Sumbar juga terus menurun. Ricky menyebut hambatan klasik seperti permasalahan tanah ulayat, perizinan yang lambat, dan minimnya promosi investasi pemerintah daerah sebagai faktor utama penghambat.
“Padahal, sektor pariwisata yang menjadi daya tarik utama Sumbar mestinya bisa menjadi motor ekonomi baru. Sayangnya, penggarapannya masih jauh dari optimal,” ujarnya.
Ricky menambahkan, koordinasi fiskal yang lemah antar kabupaten, penggunaan APBD yang tidak produktif, serta rendahnya kualitas SDM dan riset juga memperburuk situasi.
“Akibatnya, produktivitas dan inovasi di Sumbar terus menurun,” katanya.
Dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat: harga bahan pokok seperti beras dan cabai naik, inflasi meningkat, dan daya beli stagnan. Sementara itu, investasi baru turun 8–10 persen dibanding tahun sebelumnya, dengan urbanisasi tinggi ke Padang dan Bukittinggi yang tidak diimbangi lapangan kerja memadai.
Optimisme 2026
Meski begitu, Ricky tetap optimistis. Ia percaya potensi Sumbar yang melimpah masih bisa menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi jika kepemimpinan daerah mampu menggerakkan hilirisasi sektor pertanian, perikanan, dan komoditas lainnya.
“Asal pemimpin di Sumbar kuat dan fokus menggeliatkan ekonomi daerah, saya yakin tahun 2026 pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat bisa meningkat signifikan,” pungkas Datuk Ricky Donals.(*)

