Site icon rakyatsumbar.id

Pahlawan Nasional Itu Bernama Rahmah El Yunusiyyah

Oleh: Muhammad Subhan

Padangpanjang, 1 November 1923. Tiga tahun sebelum gempa besar mengguncang kota kecil di lereng Gunung Marapi dan Singgalang itu, seorang gadis berusia 23 tahun mengambil keputusan yang kelak mengubah sejarah pendidikan Indonesia. Ia mendirikan sekolah khusus perempuan pertama di Nusantara—suatu langkah berani yang menabrak kelaziman zaman.

Di masa itu, dunia pendidikan masih didominasi oleh laki-laki. Perempuan nyaris tak memiliki ruang untuk belajar, apalagi menjadi guru.

Namun, gadis itu berkata lantang, “Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka kaum saya akan tetap terbelakang. Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa?”

Nama gadis itu: Rahmah El Yunusiyyah.

Lahir di Bukit Surungan, Padangpanjang, pada 20 Desember 1900 (1 Rajab 1318 Hijriah), Rahmah tumbuh dalam keluarga ulama dan cendekia. Ayahnya, Muhammad Yunus al-Khalidiyah bin Imanuddin, adalah hakim agama dan ahli ilmu falak. Ibunya, Rafi’ah, perempuan lembut yang mendidik anak-anaknya dengan nilai-nilai agama dan kejujuran.

Rahmah adalah bungsu dari lima bersaudara, dan salah satu kakaknya, Zainuddin Labay El Yunusy, kelak dikenal sebagai penulis dan jurnalis Islam pelopor majalah Al-Munir Padangpanjang, media pembaharu Islam yang berani menantang kejumudan berpikir di awal abad ke-20.

Dari rumah gadang keluarganya di Lubuk Mata Kucing, semangat intelektual dan pembaruan itu menetes ke dalam jiwa Rahmah kecil. Ia hanya mengenyam sekolah dasar tiga tahun, tetapi haus pengetahuannya tak pernah surut. Ia belajar bahasa Arab dan Latin dari dua kakaknya, dan setiap sore mengaji pada Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) di surau Jembatan Besi—sosok reformis yang kelak melahirkan pemikir besar yang tak lain anak kandungnya sendiri: Buya Hamka.

Padangpanjang pada masa itu bukanlah kota kecil yang diam. Ia pusat pergerakan intelektual Islam di Sumatra Barat, tempat para pembaharu, wartawan, dan ulama muda berdebat dan menulis tentang arah bangsa. Di kota inilah, madrasah modern Sumatera Thawalib berdiri; di sinilah juga lahir pemikiran-pemikiran progresif tentang Islam, pendidikan, dan kemerdekaan.

Di tengah atmosfer yang penuh dinamika itu, Rahmah menemukan jati dirinya. Ia menyaksikan bagaimana kaum lelaki berdebat di surau, bertengkar pikiran (menulis) di surat kabar dan majalah, serta berbicara tentang kemajuan bangsa, tetapi kaum perempuan nyaris tak memiliki ruang. “Rumah tangga adalah tiang masyarakat, dan masyarakat adalah tiang negara,” katanya kemudian. “Jika perempuan lemah, rapuhlah tiang negara itu.”

Berangkat dari kesadaran itu, Rahmah mendirikan Diniyyah School Puteri pada 1 November 1923. Ia dibantu oleh kakaknya, Zainuddin Labay, dan teman-teman perempuannya di Persatuan Murid Diniyyah School (PMDS). Murid pertamanya berjumlah sangat sedikit, hanya 71 orang.

Sekolah itu sederhana. Bangunannya di Pasar Usang hanya berdinding papan, tetapi semangat di dalamnya menyala seperti api. Rahmah sendiri yang mengajar agama, bahasa Arab, dan ilmu keterampilan.

Ia mengajarkan kebersihan, keteraturan, dan keberanian berpikir. Ia ingin perempuan Minangkabau tidak hanya pandai mengaji, tapi juga cakap menulis, menjahit, berpidato, dan berpikir logis.

Tiga tahun kemudian, pada tahun 1926, gempa hebat meluluhlantakkan Padangpanjang. Sekolah dan asrama Diniyyah Puteri hancur rata dengan tanah. Tetapi Rahmah tak menyerah. Ia bangkit, mendirikan bangunan baru dari bambu berukuran 12 x 7 meter, dan menghimpun kembali murid-muridnya.

Tak cukup sampai di sana, Rahmah berkeliling Sumatera hingga menyeberang ke Semenanjung Malaya (kini Malaysia) untuk mencari dana pembangunan. Dari perjalanan dakwah dan perjuangan itu, ia berhasil mengumpulkan 1.569 gulden—jumlah besar untuk ukuran masa itu. Semangat pantang menyerahnya menjadikan ia simbol keteguhan perempuan Islam di Minangkabau.

Kiprah Rahmah meluas jauh melampaui Padang Panjang, kota kelahirannya. Pada tahun 1955, Syaikh Abdurrahman Taj, Rektor Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, berkunjung ke Diniyyah Puteri. Ia tertarik dan kagum melihat sistem pendidikan Rahmah yang memadukan ilmu agama dan keterampilan modern, serta memberi ruang luas bagi kaum perempuan. Dua tahun kemudian, Al-Azhar membuka fakultas khusus perempuan bernama Kulliyyât al-Banât, tak lain terinspirasi langsung dari sistem Diniyyah Puteri.

Pada 1957, Rahmah diundang ke Mesir dan menerima gelar Syekhah, sebuah gelar kehormatan setara Doktor Honoris Causa yang belum pernah diberikan kepada perempuan sebelumnya dalam sejarah Al-Azhar. Ia menjadi perempuan pertama di dunia Islam yang menerima gelar tersebut.

Perjuangan Rahmah tidak hanya di bidang pendidikan. Ia juga seorang bidan bersertifikat yang membuka praktik untuk masyarakat, seorang pejuang kemerdekaan yang ikut membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Padangpanjang, bahkan pengibar bendera merah putih pertama di kota itu.

Karena aktivitasnya yang dianggap mengancam penjajah, ia ditangkap dan ditahan oleh Belanda. Namun, semangatnya tidak padam. Setelah Indonesia merdeka, pada Pemilu 1955, Rahmah terpilih menjadi anggota DPR RI dari Partai Masyumi, memperjuangkan aspirasi umat dan kaum perempuan dari ruang politik nasional.

Meski banyak berbicara tentang hak perempuan, Rahmah tidak pernah meniru pola pikir feminis Barat. Ia menegaskan bahwa Islam telah memberi kedudukan setara bagi perempuan dan laki-laki dalam hal amal dan ilmu. “Tidak ada emansipasi di luar Islam,” ujarnya, “karena Islam telah menempatkan perempuan dalam posisi yang mulia.”

Perjalanan Rahmah tak bisa dilepaskan dari konteks zamannya. Pada dekade 1920-an hingga 1930-an, Padangpanjang adalah episentrum pergerakan pembaruan Islam dan pendidikan modern di Minangkabau. Di kota inilah tokoh-tokoh seperti Haji Rasul, Rasuna Said, dan Rahmah El Yunusiyyah membangun gagasan tentang kemajuan bangsa dari akar religius dan intelektual.

Ketika kaum lelaki menyalakan obor di surau-surau dan majalah Islam, Rahmah menyalakan obor itu di ruang kelas perempuan. Ia menjadikan pendidikan sebagai bentuk jihad. Ia tahu, perang melawan kebodohan lebih berat daripada melawan penjajah bersenjata.

Rahmah memimpin Diniyyah Puteri hingga wafatnya pada 1969. Setelah itu, kepemimpinan perguruan diteruskan oleh generasi demi generasi—dari Isnaniyah hingga kini dipimpin oleh Fauziah Fauzan El Muhammady, cicit Rahmah yang mewarisi darah juangnya.

Sekitar tahun 2007, saat saya masih aktif bertugas sebagai wartawan di sebuah koran harian tertua di Padang, secara khusus saya mewawancarai Fauziah Fauzan El Muhammady untuk mengenal lebih dekat sosok Rahmah El Yunusiah dan madrasah yang didirikannya.

Kini, Diniyyah Puteri telah menjelma menjadi kompleks pendidikan modern: dari Taman Kanak-kanak Islam, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, hingga Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Rahmah El Yunusiyyah. Dari kampus megah di Kelurahan Pasar Usang Padangpanjang itu, semangat perjuangan Rahmah terus berdenyut.

Pada 13 Agustus 2013, pemerintah Indonesia menganugerahkan Rahmah tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana secara anumerta. Namun, gelar tertinggi sebagai Pahlawan Nasional baru disematkan pada 10 November 2025, melalui Keputusan Presiden Prabowo Subianto, sebuah pengakuan negara atas jasa besar seorang perempuan Minangkabau yang telah lebih dulu menerangi dunia Islam dengan ilmunya.

Gelar itu bukan sekadar penghargaan. Ia adalah peneguhan sejarah bahwa perjuangan Rahmah El Yunusiyyah telah membentuk wajah pendidikan perempuan Indonesia dan memberi teladan bagi dunia. Dari Padangpanjang, kota kecil yang menjadi “Serambi Makkah”, lahir seorang perempuan pilih tanding yang menyalakan pelita ilmu pengetahuan. Ia telah lama tiada, tetapi sinarnya tak pernah padam.

Rahmah tetap hidup di setiap ruang langkah perempuan yang menuntut ilmu, dan di setiap hati yang percaya bahwa perjuangan sejati bukan semata menjadi terkenal, melainkan tentang menyalakan cahaya agar orang lain dapat melihat jalan dan memberi arti pada kehidupan dengan kebermanfaatan yang tak lekang oleh waktu. (*) Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.

Exit mobile version