Site icon rakyatsumbar.id

Media Sosial sebagai Ruang Perlawanan: Gerakan Body Positivity di Media Sosial sebagai Pembentukan Self-Love pada Generasi Muda

Ilustrasi.

Oleh Aulia Anarolin Putri
Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas

Di era digital saat ini, media sosial menjadi ruang paling bising sekaligus paling berpengaruh dalam membentuk cara individu memandang tubuh mereka sendiri. Setiap hari, jutaan gambar tubuh ideal, kulit mulus, perut rata, hingga bentuk tubuh tertentu mengalir tanpa henti di beranda dan timeline.

Tidak mengherankan jika standar kecantikan yang seragam terus direproduksi. Dampaknya pun nyata. Dove Global Beauty and Confidence sempat mencatat bahwa sekitar 70% perempuan dan remaja perempuan merasa kurang percaya diri terhadap tubuh mereka setelah melihat representasi tubuh ideal di media sosial.

Ini menjadi bukti bahwa algoritma bukan hanya soal matematika, tetapi juga alat yang mampu membentuk persepsi diri seseorang.

Dalam konteks ini, gerakan body positivity hadir sebagai penyeimbang sekaligus bentuk perlawanan terhadap tekanan sosial atas standar tubuh ideal.

Gerakan ini bukan sekadar tren atau slogan manis untuk merayakan keberagaman tubuh, tetapi sebuah upaya untuk mengembalikan ruang kendali kepada individu bahwa setiap tubuh layak dihargai tanpa harus memenuhi standar estetika yang kian tidak realistis.

Namun, perjalanan body positivity tentu tidak sesederhana mengunggah foto tanpa filter atau menuliskan caption penuh motivasi. Ia bertumpu pada kesadaran kolektif bahwa tubuh manusia hadir dalam berbagai bentuk, ukuran, warna kulit, dan kondisi, dan semua itu adalah wajar.

Media sosial justru memainkan dua peran yang berlawanan dalam gerakan ini. Di satu sisi, platform digital telah menjadi ruang penyebaran narasi tubuh ideal yang membuat banyak orang merasa tidak cukup baik.

Namun, di sisi lain, media sosial juga membuka kesempatan bagi komunitas body positive untuk berkembang. Ribuan konten edukatif, kampanye kesadaran, hingga kisah pribadi tentang penerimaan tubuh kini mudah dijumpai.

Influencer dengan tubuh non-konvensional bermunculan dan memberikan alternatif representasi yang selama bertahun-tahun absen di media arus utama. Ini adalah langkah penting, sebab representasi memiliki kekuatan membentuk persepsi, dan persepsi mampu mengubah cara seseorang
memperlakukan dirinya.
Meski demikian, gerakan body positivity tidak luput dari kritik.

Beberapa pihak menilai bahwa narasi mencintai tubuh “apa adanya” terkadang terjebak pada romantisasi yang justru mengabaikan isu kesehatan. Ada pula kekhawatiran bahwa body positivity telah direduksi menjadi konten komersial oleh berbagai brand kecantikan dan fashion, sehingga esensinya memudar menjadi sekadar kampanye pemasaran.

Kritik lain menyebut bahwa gerakan ini sering lebih menonjolkan tubuh “plus-size yang tetap dianggap menarik”, sehingga representasi tubuh yang benar-benar berbeda seperti tubuh dengan disabilitas, bekas luka, atau kondisi kesehatan tertentu masih kurang mendapat ruang.

Namun, terlepas dari kritik tersebut, body positivity tetap menandai perubahan diskursus yang signifikan. Generasi muda kini lebih berani menolak standar kecantikan sempit dan mulai mempraktikkan self-love melalui cara-cara sederhana seperti berhenti membandingkan tubuh dengan orang lain, menyaring konten yang dikonsumsi, hingga berfokus pada kesehatan mental dan fisik alih-alih penampilan visual semata.

Gerakan ini pun perlahan mendorong industri kecantikan dan fashion untuk mengadopsi inklusivitas, baik melalui penggunaan model dengan beragam tubuh maupun kampanye bertema penerimaan diri.

Pada akhirnya, body positivity adalah pengingat bahwa tubuh bukan sekadar objek visual untuk dinilai, melainkan bagian integral dari identitas dan pengalaman manusia. Di era ketika validasi digital begitu mudah diperoleh namun sekaligus rapuh, menerima tubuh sendiri menjadi bentuk perlawanan yang sangat personal dan politis.

Media sosial, dengan segala paradoksnya, dapat menjadi alat yang kuat untuk memperluas narasi penerimaan tubuh selama kita bijak dalam mengelola paparan dan tetap kritis terhadap standar kecantikan yang diproduksi.

Gerakan body positivity bukan tentang mengabaikan kesehatan atau menolak keinginan merawat diri, melainkan mengembalikan makna tubuh sebagai sesuatu yang manusiawi, unik, dan layak dihargai. Di tengah derasnya arus konten yang menuntut “kesempurnaan”, memilih untuk mencintai diri sendiri apa adanya adalah langkah radikal yang patut dirayakan. (*)

Exit mobile version