Site icon rakyatsumbar.id

Maulid Nabi dan Profetisasi Antikorupsi

Oleh: Faisal Zaini Dahlan (Dosen UIN IB Padang)

Terbongkarnya kasus demi kasus mega korupsi hingga triliun rupiah, menyentakkan kesadaran kita betapa rapuhnya integritas moral dan religiusitas di negeri ini. Bisa saja skandal yang terungkap ke publik hanya puncak gunung es, sementara riilnya jauh lebih dahsyat dan massif.

Kejahatan extra ordinary crime ini sepertinya tidak bisa ditangani secara konvensional belaka. Pendekatan hukum tertatih-tatih, sementara membangun kesadaran lewat edukasi formal seperti pendidikan antikorupsi pun tidak terlihat buahnya.

Artinya, diperlukan upaya lebih fundamental sebagai basis moral. Dalam konteks ini, momen peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw bisa diberdayakan untuk itu.

Caracter building yang didasari kesadaran teologis dan eskatologis selama tiga belas tahun periode Mekah, sangat bisa diadaptasi sebagai model pembangunan kepribadian yang antikorupsi.

Periode Mekah, Basis Teologis dan Eskatologis

Tiga belas tahun pertama historisitas Islam di Mekah, tidak saja menjadi tonggak penting estafet peradaban Islam, tetapi juga pembentukan kualitas generasi emas sebagai penyangga moral dan etis profetik.

Individu tangguh berintegritas dan tahan uji muncul di periode ini. Mereka langsung ditempa Nabi Muhammad Saw dengan basis keyakinan kuat terhadap Tuhan (teologis) dan hari akhirat (eskatologis).

Dua doktrin vital ini ternyata ampuh membentengi generasi awal dari perilaku negatif termasuk koruptif di tengah peluang yang terbuka lebar. Godaan penyalahgunaan wewenang, misalnya saja dalam pendistribusian pampasan perang yang sangat besar, dapat ditepis dengan keyakinan teologis dan eskatologis tersebut.

Internalisasi nilai-nilai teologis berlangsung sejak Nabi Saw mengenalkan Islam kepada muslim generasi awal. Merujuk kepada ayat-ayat Al Quran yang turun pada periode Mekah -populer disebut Makiyah- terbukti titik tekan tematis sebagai ciri spesifik antara lain tentang tauhid, meyakini adanya Allah SWT dan mengesakan-Nya.

Salah satu bentuk tauhid, yakni asma’ dan sifat, menekankan pengakuan dan keyakinan tentang nama-nama baik serta sifat-sifat sempurna yang dimiliki Allah SWT. Dalam konteks ini keyakinan atas sifat tsubutiyah, khususnya dzatiyah, seperti al-‘Ilmu, as-Sam’u, al-Bashar, bisa menjadi faktor signifikan menghindari perilaku tercela, termasuk korupsi. Sifat al-‘Ilmu bermakna tidak ada suatu apapun yang luput dari pengetahuan Tuhan.

Begitu pula as-Sam’u dan al-Bashar, tidak ada satupun yang lepas dari pendengaran dan penglihatan-Nya. Pendeknya, tak sekejap mata pun manusia lolos dari pengawasan Allah SWT.

Secara psikologis, keyakinan individu terhadap “kehadiran” Tuhan kapan dan di manapun ini, menjadi sumber motivasi kuat untuk mengarahkan self-control menahan dorongan tindak koruptif.

Selain teologis, selama tiga belas tahun pra Hijrah, Nabi Muhammad Saw juga menanamkan keyakinan kokoh tentang eskatologis.

Wahyu yang turun periode pra Hijrah ini sarat dengan berita masa depan bahwa pasti akan ada tahap kehidupan lanjutan pasca kematian.

Tak ada satu pun manusia yang terbebas dari perjalanan maha panjang selanjutnya, untuk kemudian menerima reward dan punishment di akhirat, siksa atau kesenangan sesuai perilaku semasa hidup.

Doktrin eskatologis menekankan bahwa manusia bisa saja lepas dari pertanggungjawaban kejahatan di dunia, tetapi pasti akan digelar kembali peradilannya kelak di akhirat.

Profetisasi Antikorupsi

Keraguan dan tuduhan agama gagal serta tidak berdaya mengantisipasi perilaku korup, sudah sering diungkapkan. Bahkan, hasil riset Gokcekus dan Ekici, Religion, Religiosity, and Corruption (2020) menemukan anomali mengejutkan, bahwa negara dengan tingkat religiusitas tinggi cenderung tingkat korupsinya lebih tinggi.

Dalam konteks tanah air, hasil riset LSI 2018 menunjukkan anggota ormas keagamaan malah cenderung lebih pro korupsi. Riset itu juga mengungkap meski masyarakat tidak menerima perilaku itu, tetapi di sisi lain justru bisa memaklumi praktiknya (voaindonesia.com/26/9/18).

Faktanya, hingga saat ini sejumlah kasus patologi sosial tersebut masih sering melibatkan institusi maupun aktor keagamaan.

Fakta-fakta sosial di atas harus dibaca kritis, agar tidak tergiring menafikan keampuhan ajaran Tuhan untuk solusi pembebasan manusia dari kejahatan.

Dalam konteks inilah perlu elaborasi ajaran agama yang komprehensif, tidak saja aspek konseptual tetapi juga metode internalisasi pesan profetik yang dilakukan Nabi Saw.

Seruan moral etis dan nilai agama yang seolah tidak berdampak banyak menghentikan perilaku korupsi selama ini, tampaknya urgen dan mendesak dievaluasi.

Salah satunya merekonstruksi ulang materi dan metode pembelajaran agama dengan mengacu pada historisitas profetik Nabi Muhammad Saw sendiri.
Seperti diungkapkan pada bagian awal, lebih separuh masa kenabian Beliau gunakan untuk meletakkan, membangun, dan membina fondasi keimanan kokoh kepada Tuhan dan hari akhirat.

Internalisasi nilai dan keyakinan terhadap ada dan selalu hadir-Nya Yang Maha Ghaib dan Maha Segalanya, dijadikan benteng untuk menghadapi godaan duniawi.

Kepercayaan yang utuh tentang kehadiran Tuhan di setiap locus dan tempus ini diiringi penanaman kesadaran penuh terhadap kepastian adanya pertanggungjawaban kelak pasca kehidupan dunia.

Gambaran dahsyat dan tragis kehidupan eskatologis penuh siksaan bagi pelaku dosa, menjadi motivasi kuat untuk menghindari dorongan negatif, terlebih tindakan korupsi yang sangat tercela.

Keteladanan fase profetik kenabian dalam membangun pribadi berintegritas dan berkarakter, sejatinya ditransformasikan untuk mengantisipasi korupsi yang cenderung sudah membudaya. Kita perlu berkaca pada stressing point ajaran Tuhan yang awal ditanamkan Nabi Saw, yakni keyakinan teologis dan eskatologis sebagai basis fundamental yang mutlak dimiliki sebelum penekanan aspek keagamaan lain.

Relevan dengan momen peringatan Maulid Nabi Saw, kiranya sangat tepat untuk mengevaluasi sistem dan metode edukasi keagamaan selama ini.

Kecenderungan mendahulukan aspek legal formal ajaran ketimbang keyakinan teologis dan eskatologis yang justru jauh lebih fundamental, perlu dikaji ulang sebagai upaya profetisasi antikorupsi yang sudah sangat mendesak. Wallahu a’lam.  (*)

Exit mobile version