Polemik mengenai besarnya tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang kembali mencuat pada tahun 2025 bukan sekadar kabar rutin mengenai pengelolaan keuangan negara. Ia adalah cermin paling jelas dari bagaimana kekuasaan dapat menjauh dari akar moralitas ketika etika publik tidak lagi menjadi pedoman.
Munculnya informasi bahwa tunjangan perumahan bisa mencapai puluhan juta rupiah per bulan dan bahwa total paket remunerasi anggota DPR dapat melampaui angka yang tak masuk akal bagi masyarakat luas telah memperlihatkan jurang etis antara “wakil rakyat” dan rakyat itu sendiri. Skandal ini sekaligus menyingkap bahwa persoalan korupsi di Indonesia telah bergeser menjadi krisis karakter yang jauh lebih dalam daripada sekadar pelanggaran peraturan.
Jika dianalisis melalui perspektif Etika dalam Pengantar Ilmu Hukum, tindakan penyalahgunaan kewenangan, pembengkakan tunjangan, dan pengabaian sensitivitas sosial merupakan pelanggaran terhadap nilai dasar hukum itu sendiri. Etika hukum mengajarkan bahwa setiap pejabat publik tidak hanya dituntut mematuhi aturan tertulis, tetapi juga memelihara integritas moral, kejujuran, dan rasa tanggung jawab. Ketika lembaga legislatif justru terjebak pada praktik yang sarat konflik kepentingan, maka hukum kehilangan kedudukannya sebagai pedoman hidup bernegara. Para wakil rakyat seharusnya menjadi contoh penerapan etika profesi; namun yang muncul justru perilaku yang mendekati penyalahgunaan legitimasi jabatan.
Dari sudut teori tujuan hukum, hukum seyogianya memastikan keadilan, memberikan kemanfaatan, dan menjamin kepastian. Namun praktik tunjangan berlebihan justru memperlihatkan distorsi tujuan hukum. Jika tunjangan yang sangat besar dinikmati segelintir elit, sementara masyarakat mengalami tekanan ekonomi, maka asas keadilan menjadi kabur. Kepastian hukum pun terganggu karena publik memandang hukum tidak lagi diterapkan secara seimbang. Pada titik ini, hukum berubah menjadi instrumen legitimasi kekuasaan, bukan sarana distribusi keadilan.
Dari sisi etika kelembagaan, perilaku para pejabat publik harus bisa dipertanggungjawabkan secara moral. Konsep etika dalam ilmu hukum menuntut bahwa jabatan publik adalah amanah, bukan fasilitas. Amanah berarti adanya kewajiban moral untuk mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Namun yang terlihat sekarang adalah kebalikannya: lembaga legislatif cenderung mengutamakan kenyamanan internal dibandingkan sensitivitas terhadap beban hidup masyarakat. Bahkan ketika pemangkasan tunjangan diumumkan sebagai “langkah penyelamatan”, publik menilai bahwa pemangkasan tersebut tidak menyentuh akar persoalan, sebab akar persoalan bukan pada angka, melainkan pada mentalitas.
Munculnya kembali istilah sinis “korupsi lebih rajin daripada ibadah” mencerminkan kekecewaan masyarakat. Itu bukan sekadar kritik, tetapi jeritan moral. Masyarakat merasakan bahwa fungsi DPR sebagai pembentuk hukum menjadi paradoks: bagaimana lembaga yang bertugas membuat aturan, mengawasi anggaran, serta menjaga integritas negara justru bertindak bertentangan dengan nilai-nilai etis yang menjadi dasar hukum itu sendiri? Ketika etika dikhianati, hukum pun ikut runtuh. Pada akhirnya rakyat melihat bahwa korupsi tidak tumbuh dari celah hukum, melainkan dari celah moral para pelaksana hukum.
Skandal tunjangan DPR 2025 juga menunjukkan betapa rentannya sistem hukum ketika dipimpin aktor yang tidak menjadikan etika sebagai kompas. Pengantar Ilmu Hukum menegaskan bahwa hukum tidak mungkin berdiri kokoh tanpa landasan moral. Semua aturan, sanksi, dan kewajiban formal hanya efektif jika pejabat publik memiliki kesadaran batin bahwa kekuasaan adalah tanggung jawab etis. Tanpa itu, hukum mudah dibelokkan, anggaran mudah dimanipulasi, dan kepercayaan rakyat mudah runtuh.
Indonesia tidak kekurangan undang-undang. Yang kurang adalah kejujuran dalam menjalankan undang-undang tersebut. Oleh karena itu, pembenahan lembaga publik tidak cukup hanya dengan “memotong tunjangan” atau “membentuk satgas etika”. Yang harus dibenahi adalah karakter moral para pejabat. Tanpa pembenahan etika, aturan apa pun hanya akan menjadi prosedur formal yang dapat dimanipulasi.
Pada akhirnya, kasus tunjangan DPR 2025 harus dibaca sebagai peringatan bahwa negara tidak hanya membutuhkan hukum yang kuat, tetapi juga moralitas pejabat yang bersih. Tanpa kombinasi keduanya, hukum tidak lebih dari teks mati, dan negara kehilangan arah. Maka, mengembalikan etika sebagai inti dari jabatan publik adalah langkah pertama untuk mengembalikan kepercayaan rakyat—kepercayaan yang selama ini menjadi fondasi utama legitimasi kekuasaan. (*)

