Di sebuah daerah, hiduplah dua bersaudara bernama Diki dan Dika. Mereka tumbuh bersama dalam suka dan duka, hidup rukun dan damai. Saat dewasa, keduanya memilih jalur yang sama: menjadi kontraktor. Namun, jalan nasib menuntun keduanya pada kisah yang berbeda.
Diki, sang kakak tertua, berhasil membangun perusahaan besar yang telah melanglang buana hingga ke pasar internasional. Proyek-proyek besar berjatuhan di pelukannya, membuat perekonomiannya membaik. Gaya hidupnya berubah drastis—dari sederhana menjadi sombong dan penuh kelicikan. Ia selalu berusaha mengambil muka pada bos besar, namun di balik itu, tak jarang ia memburukkan nama saingan, termasuk adiknya sendiri, kepada CEO. Diki dikenal sebagai sosok yang sok hebat namun berpikiran sempit, hanya pintar memanfaatkan relasi demi keuntungan sendiri, tanpa usaha nyata atau pengembangan diri.
Sementara itu, Dika yang adik jauh berbeda. Meski perusahaannya kecil dan sering kewalahan dalam mencari proyek, bahkan terkadang gajinya terlambat dibayar, semangatnya tak pernah pudar. Dia terus belajar, mengasah kemampuan, membangun jaringan, aktif dalam organisasi dan kepengurusan masjid, serta pandai menulis di berbagai media. Dika menghargai orang lain dan percaya bahwa kerja keras dan doa akan membuka jalan kesuksesan.
Masa itu tiba. Dika yang selalu menghargai keberadaan orang lain akhirnya memperoleh proyek besar berkat usaha dan doa yang tak kenal lelah. Di sisi lain, perusahaan Diki justru semakin meredup karena sumber daya manusianya yang buruk dan ketidakmampuan manajemen yang dipenuhi oleh sikap congkak dan egoisme. Perlahan, kehidupan Dika membaik sedangkan Diki mengalami kemunduran.
Persaingan pun tak dapat dielakkan. Perusahaan Dika berhasil memenangkan proyek besar yang selama ini dikuasai oleh perusahaan Diki dan kompetitor lainnya. Anehnya, sang kompetitor, Ujang, yang mengelola proyek tersebut, sama sekali tak mendapat reaksi dari Diki—membuktikan bahwa sang kakak sudah kewalahan dan ketakutan menghadapi perubahan ini.
Namun, sikap Diki tak berubah menjadi lebih dewasa. Saat mengetahui proyek itu kini jatuh ke tangan adiknya, ia murka. Dengan uring-uringan dan hati penuh kepahitan, ia menyebarkan fitnah terhadap Dika, menggandeng banyak orang di perusahaan tersebut untuk menjatuhkan reputasi sang adik. “Dulu proyek ini milik kita lama, sekarang pindah ke perusahaan adik. Siapa dia sampai bisa merebut hak kita?” gerutunya penuh kebencian.
Diki lupa, apa yang ia tabur itulah yang akan ia tuai. Kesombongan dan kebodohan yang diperlihatkannya menjadi jerat yang mengikatnya. Sementara Dika, dengan usaha, kejujuran, dan kerja kerasnya, melangkah perlahan menuju keberhasilan yang sejati.
Kisah ini bukan hanya tentang persaingan bisnis, melainkan cermin nyata bahwa kedunguan—berpikir diri paling hebat tanpa usaha dan akal sehat—akan membawa kehancuran. Kebodohan terbesar adalah ketika seseorang menolak belajar dan terus-terusan mengandalkan tipu daya untuk bertahan, sementara dunia bergerak maju tanpa menunggu mereka.
Jadilah seperti Dika, yang memilih jalan menghargai orang lain, terus belajar, dan bekerja dengan tulus, bukan seperti Diki yang tenggelam dalam kesombongan dan kebodohan dirinya sendiri. Sebab, di akhir cerita, kebenaran dan kejujuran selalu menang, sementara kedunguan akan tersingkir oleh waktu. (fwi)

