Site icon rakyatsumbar.id

Kemiskinan Sebagai Penghalang Utama Akses Pendidikan Berkualitas

Oleh : Rahma Diati 

NIM 2510832014, Prodi Ilmu Politik, FISIP, Universitas Andalas 2025

Akses terhadap pendidikan sangat penting bagi individu dan masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan dapat memberikan keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan individu untuk mendapatkan perkerjaan dengan gaji yang lebih baik dan meningkatkan prospek ekonomi mereka. Pendidikan dapat membantu memutus siklus kemiskinan dengan memberikan individu alat yang mereka butuhkan untuk meningkatkan kehidupan mereka dan kehidupan keluarga mereka (Matthews & Dollinger, 2022).

Pendidikan dapat memberikan kesempatan kepada individu untuk naik ke jenjang sosial dan mencapai mobilitas sosial dan ekonomi yang lebih tinggi (Matthews & Dollinger, 2022). Pendidikan dapat membantu individu menjadi warga negara yang dibutuhkan dan berpartisipasi dalam proses demokrasi dan membuat keputusan yang tepat. Pendidikan dapat membantu mengurangi ketidaksetaraan dengan memberikan individu dari latar belakang yang kurang beruntung dengan alat yang mereka butuhkan untuk berhasil (Fuller et al., 2017).

Penting untuk memastikan bahwa setiap orang memiliki akses terhadap pendidikan, terlepas dari latar belakang atau keadaan mereka.

Saya sepenuhnya sependapat dengan pandanga tersebut. Pendidikan bukan hanya sarana transfer ilmu, tetapi juga alat pemberdayaan. Ia memberi individu kemampuan untuk berpikir kritis, mengenali hak dan kewajiban sebagai warga negara, serta membuat keputusan yang tepat dalam kehidupan sehari-hari.

Di negara yang demokratis, pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk masyarakat yang sadar politik, aktif berpartisipasi, dan mampu menjaga stabilitas social. Bagi mereka yang berasal dari latar belakang kurang beruntung pendidikan merupakan jembatan untuk mengubah nasib mereka.

Banyak bukti menunjukkan bahwa seseorang yang mengakses pendidikan tinggi memiliki peluang kerja lebih baik dan pendapatan lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak. Dalam hal ini, pendidikan menjadi kunci mobilitas sosial vertikal suatu proses di mana individu naik ke jenjang sosial yang lebih tinggi berkat pencapaian pribadi, bukan warisan status.

Akses terhadap pendidikan yang berkualitas merupakan hak dasar yang memberdayakan individu, memperkuat masyarakat, dan mendorong pembangunan social-ekonomi. Namun, memastikan kesempatan pendidikan yang adil bagi semua orang masih menjadi tantangan yang terus berlanjut, masih banyak anak-anak dari daerah terpencil, kelompok miskin, atau komunitas terpinggirkan yang kesulitan memperoleh pendidikan yang layak.

Ketimpangan ini menjadi penghalang besar dalam mewujudkan fungsi sejati pendidikan sebagai alat pemerataaan social. Pertama-tama, ketimpangan akses terhadap pendidikan berkuliatas merupakan masalah yang paling nyata. Meskipun pendidikan dasar sudah merata secara kuantitatif, kualitas pengajaran dan fasilitas masih sangat timpang antara wilayah perkotaan dan pedesaan.

Sekolah di daerah terpencil sering kali kekurangan guru berkualitas, fasilitas yang memadai, dan dukungan teknologi. Sementara di kota besar, anak-anak dari keluarga mampu dapat menikmati pendidikan yang lebih modern, mendalam, dan interaktif. Jurang ini menandakan bahwa pendidikan kita belum sepenuhnya inklusuf.

Masalah berikutnya adalah keterbatasan bantuan finansial yang merata dan tepat sasaran. Program-program seperti KIP (Kartu Indonesia Pintar) dan beasiswa sebenarnya telah diupayakan, tetapi implementasinya sering kali tidak optimal. Banyak siswa dari keluarga miskin yang masih kesulitan melanjutkan pendidikan karena kendala biaya hidup, transportasi, atau kebutuhan sekolah lainnya. Fuller et al., (2017) menyatakan bahwa kebijakan afirmatif dan dukungan keuangan yang memadai sangat penting untuk memastikan bahwa pendidikan benar-benar dapat menjadi alat pengurangan ketimpangan.

Selain itu, fungsi pendidikan sebagai pembentuk warga negara yang kritis dan demokratis juga belum berjalan maksimal. Kurikulum yang terlalu berfokus pada capaian akademik cenderung mengabaikan pentingnya pendidikan kewarganegraan dan literasi politik. Padahal, di tengah kondisi demokrasi yang semakin kompleks, kemampuan berpikir kritis dan partisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan menjadi keterampilan yang sangt penting.

Tak kalah penting, norma sosial dan budaya masih menjadi penghalang tersembunyi. Di beberapa daerah, anak perempuan masih dianggap tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi. Anak-anak dari kelompok minoritas atau penyandang disabilitas pun seringkali menghadapi diskriminasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ini menunjukkan bahwa pendidikan inklusif bukan hanya soal fasilitas, tetapi juga soal perubahan cara pandang masyarakat.

Ironisnya, kebijakan yang seharusnya menjadi solusi justru sering kali terhambat birokrasi. Kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, lemahnya pengawasan, serta minimnya partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan membuat banyak program pendidikan kehilangan daya dorongnya.

Pendidikan memang memiliki potensi besar untuk menjadi alat transformasi sosial, tetapi potensi itu tidak akan pernah tercapai jika kita terus menutup mata terhadap berbagai ketimpangan yang ada. Perlu keberanian politik, keseriusan dalam implementasi kebijakan, dan perubahan pola pikir kolektif agar pendidikan benar-benar dapat menjalankan perannya. Jika tidak, pendidikan hanya akan menjadi janji kosong: penuh harapan, tapi gagal mengubah nasib.(*)

 

 

 

 

Exit mobile version