Banda Aceh, Rakyat Sumbar-Pentingnya kearifan lokal dalam memperkuat semangat nasionalisme generasi muda menjadi topik utama dalam kuliah umum yang disampaikan oleh Susi Fitria Dewi, S.Sos., M.Si., Ph.D, dosen Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Universitas Negeri Padang (UNP).
Kegiatan ini berlangsung di Universitas Syiah Kuala (USK), Banda Aceh, dan dihadiri oleh lebih dari 300 mahasiswa Departemen PPKn serta seluruh dosen PPKn USK pada Selasa, 21 Oktober 2025.
Kuliah umum bertajuk “Penguatan Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Meningkatkan Semangat Nasionalisme Generasi Muda Indonesia” ini dibuka secara resmi oleh Wakil Dekan III FKIP USK, Drs. Abu Bakar, M.Si.
Dalam paparannya, Susi menekankan bahwa kearifan lokal yang berakar dari tradisi dan kehidupan masyarakat Aceh merupakan fondasi penting dalam menumbuhkan jiwa nasionalisme. Ia mencontohkan tradisi Melengkan, pidato adat dalam pernikahan masyarakat Gayo, sebagai bentuk ekspresi budaya lokal yang sarat makna kebangsaan.
“Tradisi seperti Melengkan menunjukkan bagaimana budaya lokal mampu membentuk identitas dan memperkuat nasionalisme. Ini adalah bentuk penghargaan terhadap nilai-nilai yang tumbuh dari masyarakat sendiri,” jelas Susi.
Ia juga mengangkat contoh lain seperti Tari Saman, adat istiadat Aceh, Smong Simeulue, yang merupakan cerita lisan tentang mitigasi bencana tsunami, hingga kerajinan sulaman emas Aceh, sebagai warisan budaya yang tidak hanya indah, tetapi juga memiliki nilai-nilai sosial, spiritual, dan edukatif.
“Syair dalam Tari Saman, misalnya, menyampaikan pesan etika, spiritualitas, dan solidaritas. Ini adalah contoh konkret bagaimana kearifan lokal bisa menjadi media pendidikan karakter,” ujarnya.
Menurut Susi, kearifan lokal tidak berdiri sendiri, tetapi bisa diintegrasikan dengan nilai-nilai Pancasila dan dihubungkan dengan identitas nasional melalui pendidikan, kebijakan kultural, dan komunikasi publik. Ia juga menekankan perlunya narasi kebangsaan yang inklusif agar seluruh budaya lokal di Indonesia mendapat ruang dan pengakuan yang setara.
Lebih jauh, Susi menarik benang merah antara budaya Aceh dan Minangkabau. Ia menyebut ada kesamaan prinsip dalam nilai-nilai adat dan agama yang dipegang oleh kedua masyarakat.
“Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah di Minangkabau sejalan dengan hukôm ngon adat lagee zat ngon sifeut di Aceh. Keduanya menegaskan harmoni antara adat dan agama sebagai landasan kehidupan bermasyarakat. Ini memperlihatkan bahwa tradisi lokal dapat memperkuat nasionalisme tanpa menghilangkan akar spiritualitasnya,” terang Susi.
Susi berharap, kegiatan ini menjadi pemantik munculnya sinergi antara nilai-nilai kearifan lokal Aceh dan semangat kebangsaan, yang pada akhirnya membentuk karakter generasi muda yang berbudaya, religius, dan cinta tanah air.
Menutup kuliah umumnya, Susi mendorong mahasiswa untuk aktif mendokumentasikan dan menyebarkan kearifan lokal melalui media sosial. Menurutnya, generasi muda memiliki peran penting dalam membuat budaya lokal tetap hidup dan dikenal luas.
“Budaya lokal harus dikemas secara kreatif agar bisa bersaing dan populer, tanpa kehilangan filosofi serta nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya,” tutupnya.(Edg)