Adel Wahidi dari Jurnalis Jadi Kepala Ombudsman Sumbar
Di balik jabatan barunya sebagai Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Barat, nama Adel Wahidi mengalir pelan-pelan dalam sejarah panjang perjuangan dan luka yang membentuknya menjadi penjaga keadilan hari ini. Ia resmi dilantik pada 3 Februari 2025 di Jakarta. Bagi banyak orang, mungkin ini sekadar rotasi pejabat. Tapi bagi Adel, ini adalah titik balik dari sebuah perjalanan panjang: dari korban maladministrasi, menjadi pengawasnya.
Adel bukan wajah baru di tubuh Ombudsman. Ia sudah menjadi Asisten Ombudsman sejak 2012, mengawasi jalannya pelayanan publik yang kadang menyeleweng, dan menantang wajah birokrasi yang kerap pongah. Tapi sebelum itu, hidupnya ditempa dalam bara: sebagai aktivis, jurnalis, dan anak kampung yang menyimpan mimpi besar dari tanah yang sunyi.
Lahir di sebuah pondok kecil di tengah sawah di Sawah Taruko, Kototuo, Nagari Salimpaung, Tanah Datar, pada 3 September 1983, Adel adalah sulung dari empat bersaudara, buah hati dari pasangan almarhum Ibrahim dan Raunas. Namanya mengandung harapan: “Adel” dari “adil”, dan “Wahidi” yang berarti utama. Sebuah doa agar sang anak menjadi pembela keadilan. Doa itu kini menemukan bentuknya.
Ayahnya, seorang anak surau dan juara MTQ, pernah merasakan getirnya salah tangkap. Tahun 1984, dituduh menganiaya seseorang, beliau ditahan selama 15 hari di Polsek. Padahal bukan dia pelakunya. Setelah penyelidikan, sang ayah dilepaskan. Pengalaman pahit itu membekas dalam keluarga kecil mereka. Kini, kejadian itu dikenal sebagai bentuk maladministrasi.
Adel pun tak luput dari luka yang sama. Ia lahir tanpa bantuan bidan, hanya ditolong oleh dukun kampung. Akses kesehatan belum menyentuh pelosok seperti Sawah Taruko saat itu. Baginya, itulah bentuk pertama ketidakadilan yang dialaminya. Maladministrasi yang paling awal—yang kini, justru menjadi tanggung jawabnya untuk dicegah agar tak lagi menimpa orang lain.
Riwayat pendidikannya menyusuri jejak kampung hingga ke kota: SDN 44 Kototuo Salimpaung, MTsN Lawang Mandahiling (kini MTsN 3 Tanah Datar), lalu MAN 2 Payakumbuh. Ia menamatkan S1 Ekonomi Syariah di IAIN Imam Bonjol Padang (sekarang UIN IB) tahun 2008. Pascasarjananya di UIN IB sempat terhenti, namun gelar Magister Hukum ia raih di Universitas Bung Hatta Padang pada 2020.
Adel juga pernah mengecap getirnya pendidikan yang tidak adil. Ia pernah dipulangkan, tak diizinkan ikut ujian, oleh keputusan sepihak yang hingga kini masih ia simpan dalam diam. Luka itu tak hilang, tapi justru menjadi energi. Sebab dari ketimpangan itu ia tahu: keadilan bukan hal yang turun dari langit, tapi sesuatu yang harus diperjuangkan, disuarakan, dan dijaga.
Pernah menjadi jurnalis dan aktivis, Adel memahami denyut masyarakat dari dekat. Ia tahu rasanya berdiri di tengah konflik, dan tahu bagaimana suara rakyat sering tenggelam di meja birokrasi. Kini, di pundaknya terpikul tugas: memastikan suara-suara kecil itu tak lagi diabaikan.
Dari sawah sunyi di Salimpaung hingga ruang-ruang negara, perjalanan Adel Wahidi bukan hanya tentang karier, tapi tentang misi. Sebuah misi yang lahir dari luka, tumbuh dalam perjuangan, dan kini mekar sebagai harapan: bahwa negara bisa lebih adil, dan bahwa satu orang bisa menjadi perantara perubahan.
Sebab kadang, keadilan memang butuh seseorang yang pernah merasakannya hilang.(Firman Wanipin)