Oleh: Rezky Moraza
(Mahasiswa Ilmu Politik, Fakultas Sosial & Ilmu Politik, Universitas Andalas)
Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur merupakan salah satu kebijakan paling ambisius dalam sejarah modern Indonesia. Ia bukan sekadar proyek fisik, melainkan simbol dari upaya negara membayangkan masa depan baru—pemerataan pembangunan, efisiensi tata kelola, dan keberlanjutan lingkungan.
Namun, di balik semangat besar tersebut tersimpan paradoks yang menggelitik: semakin besar janji yang diusung, semakin besar pula potensi kesenjangan yang mungkin muncul.
Kebijakan publik sejatinya berangkat dari niat mulia—menata kehidupan bersama agar lebih adil dan seimbang. Namun idealisme kebijakan sering kali diuji oleh kenyataan sosial yang jauh lebih kompleks dari sekadar dokumen perencanaan. IKN menjadi cermin menarik: di satu sisi mewakili keberanian politik jangka panjang, tetapi di sisi lain memperlihatkan bagaimana kebijakan besar mudah terperangkap dalam paradoks antara visi dan realitas.
Visi Besar dan Rasionalitas Pembangunan
Secara resmi, pemindahan ibu kota dimaksudkan untuk mengurangi beban Jakarta, menciptakan pemerataan ekonomi, serta mewujudkan pusat pemerintahan yang hijau dan berteknologi tinggi. Dalam visi tersebut, IKN diharapkan menjadi kota masa depan—simbol efisiensi birokrasi dan keseimbangan wilayah.
Visi ini tampak rasional dan inspiratif. Ia membawa pesan bahwa pembangunan tidak harus berpusat di Jawa, serta menunjukkan keberanian Indonesia dalam memandang masa depan. Namun, kebijakan publik tidak hidup di ruang steril; ia dibentuk oleh dinamika politik, ekonomi, dan kepentingan yang sering kali tidak searah.
Rasionalitas teknokratis yang menekankan efisiensi dan inovasi sering berbenturan dengan rasionalitas politik yang berorientasi pada simbol dan legitimasi. Dalam kasus IKN, kedua rasionalitas ini saling bertumpuk—menjadikan proyek ini bukan hanya soal pemerataan, tetapi juga representasi kekuasaan dan citra nasional.
Dimensi Politik di Balik Rasionalitas Kebijakan
Tidak ada kebijakan publik yang sepenuhnya netral. Pemindahan ibu kota adalah keputusan politik yang sarat makna simbolik. Ia menandai upaya negara menegaskan kemandirian, sekaligus mengukuhkan kontrol atas arah pembangunan nasional.
Namun, dimensi politik inilah yang kerap menimbulkan distorsi dalam implementasi. Target pembangunan sering dikejar demi kepentingan citra atau warisan politik, bukan karena kesiapan sosial dan administratif. Akibatnya, kebijakan yang seharusnya menjadi alat transformasi dapat berubah menjadi proyek pencitraan yang kehilangan jiwa publiknya.
Rasionalitas politik tidak selalu buruk selama diarahkan untuk memperkuat keadilan sosial. Tetapi ketika ambisi lebih dominan daripada empati, kebijakan publik berisiko menjadi arena simbolik yang menjauh dari realitas rakyat.
Implementasi dan Tantangan Sosial
Tahapan implementasi menjadi ujian utama bagi setiap kebijakan besar. Dalam kasus IKN, tantangan muncul di berbagai lapisan—mulai dari koordinasi antar lembaga, konsistensi pendanaan, hingga kesiapan infrastruktur dasar yang membutuhkan ketelitian dan waktu panjang.
Yang sering terabaikan adalah dimensi sosial dari kebijakan ini. Masyarakat lokal di sekitar wilayah pembangunan menghadapi perubahan cepat: kenaikan harga tanah, pergeseran struktur ekonomi, dan ketegangan sosial akibat ketidakseimbangan akses terhadap manfaat pembangunan.
Sementara itu, narasi resmi negara lebih banyak menyoroti kemegahan dan modernitas, bukan kerentanan sosial yang menyertai proses tersebut. Di sinilah idealisme kebijakan diuji oleh realitas lapangan. Tanpa sensitivitas sosial dan komunikasi publik yang empatik, implementasi kebijakan mudah kehilangan legitimasi moralnya.
Paradoks Ketimpangan: Pusat Baru, Ketimpangan Lama
IKN digadang sebagai solusi atas ketimpangan antarwilayah. Namun ironisnya, kebijakan ini justru berpotensi menciptakan ketimpangan baru. Kota yang dirancang sebagai simbol pemerataan bisa berubah menjadi enclave eksklusif bagi kalangan berdaya modal tinggi.
Paradoks ini setidaknya muncul dalam tiga bentuk:
1. Ketimpangan akses dan manfaat. Pembangunan besar membuka peluang ekonomi, tetapi tidak semua lapisan masyarakat dapat menikmatinya secara adil.
2. Ketimpangan kelembagaan. Otorita IKN memiliki kewenangan luas yang, tanpa pengawasan publik, berisiko menciptakan kekuasaan administratif tertutup.
3. Ketimpangan ekologis. Ambisi membangun “kota hijau” menghadapi dilema ketika pembangunan fisik justru mengorbankan hutan dan ekosistem lokal.
Paradoks ini menunjukkan bahwa kebijakan publik tidak hanya soal niat baik, tetapi juga soal tata kelola yang berkeadilan. Pemerataan yang diklaim dari atas sering kali berbeda dengan pemerataan yang dirasakan dari bawah.
Legitimasi dan Kepercayaan Publik
Kebijakan publik yang baik tidak hanya benar secara administratif, tetapi juga dipercaya secara sosial. Legitimasi adalah sumber daya yang tak kalah penting dari dana dan infrastruktur.
Dalam konteks IKN, legitimasi publik menentukan apakah proyek ini akan dikenang sebagai simbol kemajuan atau justru sebagai monumen ketimpangan baru. Kepercayaan publik tidak bisa dibangun melalui slogan atau seremonial, melainkan tumbuh dari transparansi, keterbukaan informasi, dan keberanian pemerintah menerima kritik.
Ketika masyarakat merasa didengar, mereka tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga mitra dalam proses pembangunan. Sebaliknya, ketika kebijakan tampak jauh dari kehidupan rakyat, seindah apa pun visinya akan kehilangan makna moralnya.
Menuju Kebijakan yang Berkeadilan
Paradoks yang muncul dari IKN tidak harus dilihat sebagai tanda kegagalan, melainkan sebagai bahan refleksi untuk memperbaiki cara negara merumuskan dan menjalankan kebijakan publik di masa depan.
Beberapa pelajaran penting yang dapat dipetik antara lain:
1. Arah moral kebijakan. Pembangunan harus berpijak pada keadilan sosial, bukan sekadar kebanggaan nasional.
2. Evaluasi jujur dan berkelanjutan. Keberhasilan kebijakan seharusnya diukur bukan dari cepatnya pembangunan fisik, tetapi dari seberapa luas dampak sosial positifnya.
3. Keterlibatan publik yang bermakna. Partisipasi bukan hanya formalitas, melainkan mekanisme kontrol agar kebijakan tetap berpihak pada rakyat.
4. Keseimbangan antara visi dan realitas. Kebijakan yang visioner harus tetap realistis, karena keindahan rencana tak berarti tanpa pijakan sosial yang kokoh.
Penutup
IKN adalah laboratorium besar bagi kebijakan publik Indonesia. Ia memperlihatkan betapa rumitnya mewujudkan cita-cita besar di tengah kompleksitas sosial, politik, dan ekologis.
Di satu sisi, proyek ini mengandung harapan untuk membangun Indonesia yang lebih merata. Namun di sisi lain, ia menjadi pengingat akan bahaya mengabaikan realitas di balik narasi kemajuan.
Pada akhirnya, kebijakan publik bukan sekadar tentang apa yang dibangun, melainkan bagaimana dan untuk siapa pembangunan itu dijalankan.
IKN hanya akan menjadi simbol kemajuan sejati apabila berdiri di atas prinsip keadilan, keterbukaan, dan kemanusiaan. Tanpa itu semua, ibu kota baru hanyalah ruang baru bagi ketimpangan lama.(*)