Oleh : Romi Martianus, SH, C. Med
Advokat Peradi Otto, Divisi Hukum PWI Sumbar dan Sie. Advokasi Dewan Pimpinan Pusat IKA FH Unand
Kericuhan yang terjadi didalam ruang persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (0/02/2025) lalu, menjadi sorotan berbagai kalangan baik masyarakat, netizen maupun para Aparat Penegak Hukum khususnya, sampai ke salah satu anggota Komisi III DPR-RI.
Viral, itu mungkin istilah yang bisa kita gunakan untuk situasi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara hari itu, kehadiran Hotman Paris, salah seorang Pengacara Kondang Tanah Air dan “kekisruhan” suasana saat itu, membuat kejadian ini semakin tak terbendung ke “FYP-annya”
Hampir semua media baik cetak, online, elektronik nasional serta platfom media sosial menampilkan betapa suasana di Ruang Sidang Pengadilan Jakut hari itu sangatlah tidak elok untuk ditonton masyarakat Indonesia.
Tampak betapa “Chaos” nya ruang sidang hari itu, Teriakan-teriakan jelas terdengar serta aksi salah seorang Advokat yang menaiki meja persidangan juga terekam jelas.
Sebagai seorang Advokat, saya mencoba memahami kejadian itu, tentu hal ini perlu juga menjadi perhatian kita bersama. Tampak kala itu, suasana Peradilan yang menjadi muara terakhir bagi pencari keadilan tercoreng dengan tindakan yang kurang layak.
Dimana, terdakwa dan beberapa penasehat hukum berteriak-teriak lantang diruang persidangan bahkan salah seorang Advokat terdakwa menaiki meja Penasihat Hukum yang ada dipersidangan.
Belum lagi dalam sebuah Talk Show “Rakyat Bersuara” yang tayang di salah satu TV swasta, Advokat Senior Fredrich Yunadi memberikan pernyataan sebagaimana yang dikutip dibawah ini.
“Hakim tidak ada Undang- Undang Peraturan Apapun yang menyatakan “Yang Mulia”, itu adalah sebenarnya termasuk Advokat, termasuk saya juga, kita takut perkara saya kalah, kalau saya tidak sebut “Yang Mulia”. Tidak layak menyatakan, kita istilahnya menjilat, kita fear saja,” sebutnya.
Hal ini, menurut saya sangat menarik untuk menjadi pembahasan bagi kita khususnya para Advokat dan para Aparat Penegak Hukum.
Perlu ditegaskan bersama bahwa seorang Advokat memanggil majelis hakim sebagai “Yang mulia” menurut saya bukan berarti takut akan perkaranya kalah atau bentuk “menjilat” seperti yang dinyatakan pengacara senior Fredrich Yunadi dalam acara live talk show malam, Selasa (18/02/25).
Mari kita urut satu persatu kenapa Majelis Hakim dalam persidangan selayaknya kita panggil dengan sebutan “Yang Mulia”.
Sebagian besar kita sangat memahami bahwa seorang Hakim dituntut untuk selalu berperilaku yang berbudi pekerti luhur dan telah kita sepakati Hakim sebagai profesi yang Mulia (Officium Nobile).
Bahwa Mahkamah Agung telah mengatur mengenai pedoman perilaku hakim setiap Hakim dengan Surat Keputusan Bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/PKB/PKY/IV/2009.
KEEPPH untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat, dan etika perilaku hakim. Tentang Kode Etik dan Pedoman perilaku hakim yang di implementasikan dalam pasal 3 dengan 10 aturan: Independensi hakim dan pengadilan; Praduga tak bersalah; Pernghargaan terhadap profesi Hakim dan Pengadilan; Transparansi; Akuntabilitas; Kehati-hatian dan kerahasiaan; Objektivitas; Efektivitas dan efisiensi; Perlakuan yang sama ; dan Kemitraan.
Seorang hakim juga berperilaku Adil; Berperilaku jujur; Berperilaku arif dan bijaksana; Mandiri; Berintegritas tinggi bertanggung jawab; Menjunjung tinggi harga diri; Berdisiplin tinggi; Berperilaku rendah hati dan bersikap profesional yang tersebut melekat dan mengikat seluruh Hakim.
Hakim adalah wakil Tuhan di dunia, kalimat ini tak bisa kita pungkiri lagi, bahkan banyak Advokat dalam Gugatan/Permohonannya, Replik Duplik, Eksepsi ataupun pledoinya seringkali mengunakan pernyataan “Hakim Sebagai Wakil Tuhan di dunia” yang secara tidak langsung merupakan kesepakatan bersama yang tak terbantahkan keabsahannya.
Hakim disebut seperti itu menyiratkan kedudukan hakim terhormat dibandingkan profesi atau jabatan lain.
Kenapa kita melekatkan para hakim ini sebagai “Wakil Tuhan di Dunia” tak lepas dari landasan hukum seperti tertera pada Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Karena suatu putusan Hakim wajib mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Yang mana tanpa irah-irah tersebut, putusan hakim tak punya nilai apa-apa, atau biasa kita sebut non-executable.
Perlu kita pahami bahwa bersama seorang yang berprofesi Hakim dalam mengemban amanatnya, tidak sekedar bertanggungjawab pada hukum, dirinya sendiri, atau pada pencari keadilan, tetapi juga mutlak harus bertanggungjawab kepada Tuhan, Sang Pencipta, Pemilik Hukum dan Pemilik Alam Semesta beserta isinya.
Hakim hakikatnya hanyalah kepanjang-tanganan Tuhan, untuk menetapkan sebuah hukum.
Perlu kita ingat bahwa Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (kisruh viral dalam perkara pidana) sangat jelas mengatur bagaimana Mulianya suatu Persidangan, Pengadilan dan Majelis hakim yang menyidangkan suatu perkara, hingga mengenai hal tersebut di atur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Indonesia.
Sebagaimana yang ditegaskan dalam penjelasan Pasal 218 : Tugas pengadilan luhur sifatnya, oleh karena itu setiap orang wajib menghormati martabat lembaga ini, khususnya bagi mereka yang berada di ruang sidang sewaktu persidangan sedang berlangsung.
Bersikap hormat secara wajar, dan sopan serta tidak menimbulkan kegaduhan yang dapat mengganggu dan menghalangi jalannya persidangan.
Ada beberapa hal yang harus ditaati pengunjung sidang, demi terciptanya tata tertib persidangan. Hadirin Harus Bersikap Hormat, harus sopan dan tidak menimbulkan kegaduhan di ruang sidang. Barang siapa yang menunjukkan sikap tidak hormat serta tidak tertib dalam ruang sidang.
Ketua Majelis dapat memerintahkan orang yang bersangkutan dikeluarkan dari dalam ruang sidang. Perintah pengeluaran ini dapat dilakukan Ketua Mejelis sidang setelah yang bersangkutan “diperingati” lebih dulu, namun tetap tidak diindahkannya (Pasal 218 ayat (2).
Dan juga seandainya sifat pelanggaran tata tertib yang dilakukan oleh salah seorang pengunjung merupakan tindak pidana, hal itu tidak mengurangi kemungkinan terhadapnya dilakukan penuntutan (Pasal 218 ayat (3).
Termaktub dalam KUHAP Pasal 230 Ayat 3 a. Tempat meja dan kursi Hakim terletak lebih tinggi dari tempat penuntut umum, terdakwa, Penasehat Hukum dan Pengunjung.
Atribut wajib juga di atur terkait layaknya sebuah ruang persidangan, yaitu disebelah kanannya meja hakim ada bendera nasional, bendera Pengayoman sebelah kiri dan Lambang Negara ditempatkan pada dinding bagian atas dibelakang meja Hakim.
Dari pengaturan posisi meja dan atribut kenegaraan yang ada di eja hakim memberikan keyakinan hakiki bahwa Majelis hakim mempunyai posisi paling terhormat (Mulia) diantara peserta sidang dan hadirin.
Menelaah Pasal 232 ayat 1, 2 dan 3 yang mungkin memperlihatkan sebuah aturan yang tak bisa dibantah bahwa Seorang Hakim harus dihormati dan muliakan oleh semua yang hadir dipersidangan walaupun setinggi apapun jabatan orang tersebut diluar pengadilan/ Persidangan.
Dalam KUHAP Pasal 232 Ayat 1; Sebelum sidang dimulai, panitera, penuntut umum, dan pengunjung yang sudah ada, duduk di tempatnya masing-masing dalam ruang sidang.
Ayat 2 nya ; Pada saat hakim memasuki dan meninggalkan ruang sidang, semua yang hadir berdiri untuk menghormati. Bahwa setiap orang seharusnya mengerti tentang aturan ini, bahwa ketika Majelis Hakim masuk dan keluar ruangan sidang semua yang hadir tanpa terkecuali harus berdiri untuk menghormati Hakim .
serta Ayat 3 ; Selama sidang berlangsung, setiap orang yang keluar masuk ruang sidang, diwajibkan memberi hormat. Dalam ayat 3 ini juga sangat jelas setiap orang “wajib” memberi hormat jika keluar masuk ruang sidang.
Maka sangat jelas dari beberapa aturan diatas tanpa harus memperdebatkan apakah ada atau tidaknya suatu aturan yang mengatur kita semua yang hadir dipersidangan memanggil Hakim dengan sebutan “Yang Mulia”.
Kita sedapatnya memahami kaedah dasar atau Falsafah sehingga setiap yang hadir didalam persidangan dipengadilan hendaknya memanggil Majelis Hakim dan Persidangan yang dilakukan dengan kalimat “Yang Mulia” tanpa kita harus memperdebatkannya lagi.
Karena memaknai hukum dan aturan tidak sebatas kulit luar saja, pemahaman ilmu dasarpun dengan kajian Filsafat sangat dibutuhkan oleh seorang Advokat, karena hukum bukan hanya sekedar norma namun juga mencakup Filsafat Hukum, Asas dan Teori hukum.
Dikutip dari tulisan Ahmad Z. Anam (29 Juli 2015) kala itu menjabat Hakim Pratama Muda PA. Mentok, menyatakan bahwa hakim adalah profesi yang sangat beresiko, saking mulianya hanya hakim yang berhak menyandang gelar “Yang Mulia” dan saking beresikonya Nabi Muhammad Saw menegaskan ada tiga tipikal hakim.
Dari ketiganya, dua masuk neraka, dan hanya satu yang masuk surga. Hakim yang masuk surga adalah hakim yang mengetahui kebenaran, serta memutus dengan kebenaran.
Sedangkan dua tipe hakim tersisa, yaitu hakim yang mengetahui kebenaran, namun tidak memutus dengan kebenaran dan hakim yang tidak mengetahui kebenaran dan memutus dengan ketidak-benaran itu, maka nerakalah yang siap melahap mereka.
Hakim adalah kawal terakhir penegakan hukum. Sejak disumpah, diubun-ubunnya telah dipatrikan tulisan secara tegas: Fiat Justicia Ruat Caelum (keadilan harus tetap ditegakkan, walau langit runtuh). Itulah kodrat hakim, yang sangat pantas dan harus untuk selalu kita panggil dengan sebutan “Yang Mulia”, karena suatu ucapan tersebut jika terus kita ulang-ulang akan menjadi menjadi kebenaran dan sebuah doa yang akhirnya.
Sesuai harapan kita bersama dalam penegakan hukum dinegara ini, seluruh Hakim yang ada semua Peradilan di Indonesia benar-benar di Posisi “Yang Mulia” dan memjadi hakim yang seadil adilnya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai wujud wakil Tuhan di dunia, Aamiin Ya Rabbil Allamin. (*)