Site icon rakyatsumbar.id

Dapur Gelap MBG dan Luka Moral di Balik Jatah Awal

Oleh: Duddy S. Sutandi – Pengamat Sosial

Rakyat Sumbar – Tragedi keracunan siswa akibat makanan MBG (makanan dan minuman berkemasan murah) sejatinya hanyalah puncak gunung es. Akar masalahnya jauh lebih dalam daripada sekadar dapur yang kotor atau bahan yang murahan.

Seorang pelaku yang telah menjalankan dapur MBG selama beberapa minggu mengungkapkan hal yang mengguncang:

“Masalah utamanya bukan di kompor, tapi di pembagian jatah di awal.”

Kalimat itu membuka tabir sistem yang cacat sejak hulu. Begitu proyek makanan massal untuk anak sekolah digulirkan, banyak pihak yang sudah “mengambil bagian di depan” yang di mulai dari perantara, pengelola pihak ketiga, hingga pihak-pihak yang mencari keuntungan cepat dengan meminjam modal ke bank.

Akibatnya, anggaran bahan baku terpangkas, dan dapur kehilangan ruang untuk menjaga mutu.

Maka, jadilah dapur MBG bukan tempat memasak gizi, melainkan tempat mengolah kompromi moral. Minyak murah menggantikan minyak sehat, pewarna tekstil menggantikan bahan alami, dan pekerja tanpa pelatihan menggantikan ahli gizi.

Semua dilakukan agar “bisnis tetap jalan”, sekalipun yang dipertaruhkan adalah keselamatan anak-anak sekolah.

Politik di Dapur, Bahaya Baru

Masalah lain yang tak kalah serius adalah intervensi politik dalam pengelolaan dapur MBG.

Sering kali, dapur-dapur baru diserahkan kepada orang-orang partai politik yang sama sekali tidak memahami sistem produksi makanan massal. Padahal, dalam standar minimal, kepala SPPG (Sentra Produksi Pangan Gizi), membutuhkan pelatihan dan sertifikasi minimal tiga bulan sebelum diizinkan memimpin proses masak dalam skala besar.

Sekarang, tiba-tiba muncul dapur baru yang dipegang oleh perwakilan politik yang tidak memiliki pemahaman terhadap SOP (Standard Operating Procedure) dari dapur besar, buta pengalaman manajemen pangan, serta tanpa pengetahuan akan disiplin higienitas.

Akibatnya, proses produksi dilakukan serampangan, tidak ada kontrol suhu, tidak ada pengawasan gizi, dan tidak ada akuntabilitas.

Dampaknya, proyek ini seakan sedang mempermainkan urusan nyawa dengan dalih program sosial.

Ingat, dapur bukan alat politik. Ia adalah amanah kemanusiaan.

Kalau dapur diserahkan kepada orang yang tidak paham proses, maka racun bisa lahir dari kesembronoan.

Pelaku MBG seharusnya menambahkan empat hal yang sebenarnya bisa menjadi pedoman etika baru bagi setiap dapur sosial, seperti;

1. Memilih investor yang berkomitmen, bukan spekulan atau perantara politik yang mencari margin besar di awal.

2. Fokus pada kualitas, bukan laba bahan baku. Jika ada keuntungan, kembalikan dalam bentuk peralatan dan kualitas makanan yang lebih baik.

3. Dapat memberdayakan masyarakat lokal, dengan cara melakukan seleksi etika dan moral yang ketat.

4. Budayakan budaya berbagi hasil dengan para relawan. Hal ini bertujuan, agar dapur tidak kehilangan ruh gotong royong nya.

Empat prinsip itu sederhana, tapi kalau dijalankan, bisa menjadi tembok moral bagi dapur-dapur sosial di Indonesia.

Masalah bangsa ini bukan kekurangan bahan, tapi menipisnya kejujuran dan logika akal sehat di dapur.

Kita boleh punya ribuan program makan bergizi, tapi selama sistemnya diwarnai jatah awal, politik pangan, dan semangat cari untung instan, maka racun sosial itu akan tetap beredar dalam bentuk yang lebih halus, tapi lebih berbahaya.

Dapur seharusnya menjadi tempat menanak kebaikan, bukan tempat membagi jatah dosa. Jika kita ingin menyelamatkan anak-anak dari racun, kita harus mulai membersihkan hati dan motif para pengelolanya.(*)

Exit mobile version