Padang, rakyatsumbar.id – MKA Riset & Training dan Universitas Islam Sumatera Barat memaparkan hasil kajian tentang penetapan status bencana nasional pada Sabtu 6 Desember 2025 di Cafe Permindo Coffee & Eatery.
Dalam paparannya, ketua tim peneliti Ari Firta, S.H., LL.M menyampaikan bahwa penelitian dilakukan dalam 5 hari, sejak 1 sampai 5 Desember 2025. Metode penelitian yang digunakan adalah normatif kualitatif dengan menggunakan data sekunder dari sumber-sumber yang terpercaya.
Menurut Ari yang dalam penelitiannya didampingi oleh Rahmad Fiqrizain, Rezi Tri Putri dan Rahmat Aripin Siregar, penelitian dibatasi untuk menjawab 3 pertanyaan (research questions), yaitu: apa saja indikator sebuah bencana dapat dikategorikan sebagai bencana nasional? Apakah pemerintah pusat dan/atau instansi terkait sudah menjalani prosedur penentuan kategori bencana? Apakah bencana Sumbar sudah layak dikategorikan sebagai bencana nasional?
Temuan Peneliti adalah sebagai berikut:
Terkait indikator bencana yang dapat dikategorikan sebagai bencana nasional adalah jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan sebagaimana diatur di dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Akan tetapi, terdapat kekosongan hukum sebab peraturan presiden mengenai penetapan status dan tingkatan bencana yang diamanatkan Pasal 7 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2007 sampai hari ini belum terbit.
Terkait apakah pemerintah pusat dan/atau instansi terkait sudah menjalani prosedur dalam menentukan kategori bencana ditemukan bahwa sampai hari ini belum dikeluarkan hasil pengkajian cepat dan tepat oleh BNPB.
Berkenaan dengan pertanyaan ketiga (Apakah bencana Sumbar sudah dapat dikategorikan sebagai bencana nasional) Peneliti menemukan bahwa bencana Sumbar sudah dapat dikategorikan sebagai bencana nasional dengan 5 alasan, sebagai berikut: (1) cakupan lokasi bencana yang luas. Sebagaimana diketahui, bencana ini terjadi di 3 Provinsi; (2) jumlah korban yang banyak. Seperti yang dirilis BNPB per tanggal 5 Desember 2025, jumlah korban yang meninggal dunia tercatat sebanyak 836 orang. Yang hilang sebanyak 509 orang. Luka-luka 2.700 orang. Jumlah tersebut bertambah banyak jika mempelajari data BNPB per tanggal 6 Desember 2025: 914 meninggal dunia, 389 hilang, dan 4.200 mengalami luka-luka; (3) kerusakan infrastruktur yang parah dan masif. Sebanyak 536 fasilitas umum rusak, 25 fasilitas kesehatan rusak, 326 fasilitas pendidikan rusak, 185 rumah ibadah rusak, 115 gedung/kantor rusak, dan 295 jembatan rusak. Bahkan keadaan bertambah parah mengacu ke data terbaru (per 6 Desember 2025) BNPB: 1.000 fasum rusak, 155 faskes rusak, 522 fasiltas pendidikan rusak, 344 rumah ibadah rusak, 222 gedung/kantor rusak, dan 405 jembatan rusak; (4) fungsi layanan umum terganggu. Kerusakan-kerusakan fasilitas-fasilitas yang disebutkan pada poin 3 sudah pasti mengganggu fungsi pelayanan umum dan pemerintahan; (5) terganggunya sumber daya alam yang secara otomatis mengganggu upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat. Sebagaimana diketahui, bencana yang terjadi menghancurkan lahan-lahan produktif masyarakat. Seperti, di Provinsi Sumatera Barat tercatat kerugian bidang pertanian dan tanaman pangan sebesar Rp. 0,07 Triliun. Di Provinsi Aceh, kerugian bidang pertanian dan tanaman pangan tercatat sebesar Rp. 0,06 Triliun. Sementara di Provinsi Sumatera Utara, kerugian bidang pertanian dan tanaman pangan tercatat sebesar Rp. 0,01 Triliun (CELIOS, 30 November 2025).
Penasehat peneliti yang sekaligus founder MKA Riset & Training Miko Kamal menyampaikan bahwa temuan penting penelitian ini adalah: (1) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tidak menjalankan kewajiban mereka dalam hal melakukan pengkajian cepat dan tepat terhadap bencana yang terjadi di 3 Provinsi (Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat). Dan sangat disayangkan, sebelum melakukan pengkajian yang cepat dan tepat Kepala BNBP Letjen TNI Dr. Suharyanto, S.Sos., M.M. sudah mengeluarkan pernyataan bahwa “Bencana Sumatera Hanya Mencekam di Sosial Media”. Pernyataan tersebut sangat menyakiti hati para korban bencana yang sedang dalam kesulitan; (2) Bencana Sumatera sudah selayaknya ditetapkan sebagai bencana nasional karena semua indikator yang ditentukan di dalam Pasal 49 huruf a dan b UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sudah terpenuhi.
Terkait penetapan status bencana ini, Miko Kamal menegaskan: “Untuk dan atas nama kepentingan rakyat terdampak bencana, penetapan bencana Sumatera sebagai bencana nasional tidak bisa ditunda-tunda lagi. Sebab penundaan hanya akan memperpanjang derita masyarakat korban bencana”.
Miko Kamal juga mengungkapkan bahwa hasil penelitian ini akan disampaikan kepada Presiden Prabowo, Kepala BNPB Letjen TNI Dr. Suharyanto, S.Sos., M.M., Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah, Ketua DPRD Sumatera Barat Muhidi, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Dr. Ir. Era Sukma Munaf, S.T., M.M., M.T. untuk dijadikan acuan dalam mengambil kebijakan terutama dalam hal penetapan status bencana nasional dalam waktu sesingkat-singkatnya. (*)

